Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap masyarakat yang menimbulkan kerugian secara meluas dan dirasakan, baik oleh masyarakat berbagai material dan lingkungan (alam), dimana dampak yang ditimbulkan melebihi kemampuan manusia guna mengatasinya dengan sumber daya yang ada. Bencana ialah sebuah kejadian yang tidak biasa terjadi disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, termasuk pula di dalamnya merupakan imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respons dari masyarakat, komunitas, individu maupun lingkungan untuk memberikan antusiasme yang bersifat luas. Daerah rawan bencana dengan jumlah maka wilayah tersebut dapat mengeliminir dampak bencana (Hediarto, 2016).
Tidak semua bencana alam dipicu oleh dinamika alam semata. Gaya hidup manusia yang bersifat konsumtif bahkan hedonis. Keadaan ini membuat manusia hiper-agresif, rakus, tamak, dan bertindak di luar kepatutan. Sebagai contoh adalah pembabatan hutan baik untuk lahan pertanian, perkebunan, area pemukinan, maupun industri dengan cara pembalakan liar maupun pembakaran hutan yang menimbulkan kabut asap. Pengolahan lahan yang semena-mena dan tidak sesuai dengan peruntukannya, terjadinya peperangan, percobaan bom nuklir, kegiatan industri, kegiatan penambangan yang serakah dan amburadul dapat menambah parah kondisi sosial masyarakat (Tjandra, 2018).
Tugas manusia dilahirkan ke bumi menurut para ahli adalah untuk menjaga alam ini supaya tetap lestari. Alam diciptakan Tuhan dengan milyaran hal menakjubkan di dalamnya. agar manusia sadar, betapa 'mahanya' kekuasaan Tuhan. Karena Tuhan menciptakan alam semesta untuk dijadikan tempat merenung bagi orang-orang yang berpikir dan berserah diri. Toleransi bukan sebatas saling menghargai antar manusia dengan manusia lainnnya, tetapi juga bagaimana manusia 'toleran' dengan alam. Dari saling menghargai tersebut, manusialah yang paling membutuhkan alam. Tanpa alam, manusia tidak akan lama bertahan hidup, Tanpa manusia, alam akan baik-baik saja (Soedrajat, 2017).
Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia sangat penting untuk mengetahui, memahami dan menyadari bahwa bumi tempat untuk berpijak sehari hari merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana sehingga bencana bisa terjadi kapan saja dan di wilayah mana saja. Manusia tidak bisa memprediksi dengan tepat kapan dan dimana terjadinya. Namun demikian masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, masyarakat lokal, untuk mengurangi resiko dan dampak bencana (Muslimin, 2018).
Berdasarkan hal tersebut, disadari bahwa pemahaman tentang bencana alam harus dimiliki oleh semua orang. Diperlukan upaya konkret dalam memahami dan mengantisipasi kondisi alam secara terpadu. Tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang kesiapsiagaan, kewaspadaan dan kesadaran masyarakat di lokasi rawan bencana dalam memahami bencana dan upaya yang mereka lakukan dalam rangka mengurangi risiko bencana. Sementara itu, manfaat tulisan ini diharapkan dapat memberi masukan dalam pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana khususnya terkait upaya membangun masyarakat sadar bencana dan toleransi dengan alam.
Manusia dan alam bagaikan anak dan ibu
Alam adalah pengayom, tempat manusia dilindungi, seperti Ibu menaungi anaknya. Tapi alam telah begitu terdegradasi karena manusia tak memperlakukannya sebagai ibu, dari siapa manusia belajar mencita. Saya selalu mengatakan alam itu ibu. Ketiadaaan cinta membuat alam menimpakan bencana kepada manusia karena kita tak bijak mengelola alam (Sidik, 2010).Manusia dan alam bagaikan anak dan ibu. Hal ini mengandung makna di mana manusia dan alam sebenarnya saling berkaitan satu sama lain, jika manusia adalah anaknya maka ibunya adalah alam. Oleh karena itu jaga alam dengan sebaik-baiknya, cintai dia, rawat dia karena jika alam hancur maka hancur jugalah manusia di dalamnya (Nur, 2019).
Dunia yang rusak dan terjadi bencana alam, banjir, dan sebagainya. Sebenarnya karena diri kita sendiri yang tidak sadar untuk menjaga lingkungan di sekitar kita. Maka dari itu kita harus sadar akan perilaku buruk yang sudah kita lakukan. Tugas manusia adalah memelihara apa yang ada di alam ini. Jadi, sangat erat kaitannya antara alam dan manusia (Nur , 2019).
Mungkin bila alam dapat berkata-kata, tak hanya umpatan atau cacian yang ia ungkapkan. Tapi juga rasa pilunya yang dikhianati oleh manusia, makhluk yang ia izinkan hidup diatas keraknya. Tuhan pun mendengar teriakan alam, hanya saja manusia tak terlalu peka dengan tangisan dan rintihan alam, seperti malin kundang yang lebih memilih kemewahan dibandingkan ibunya (Dewi, 2012).
Sebelumnya, manusia begitu mematuhi dan menghargai alam sebagai karunia. Hingga dalam peradaban sebelumnya harmonisme alam dan manusia terasa begitu kental. Terbangunnya kearifan lokal dalam setiap kegiatan manusia hingga pengkultusan alam adalah penjelmaan tuhan. Kebudayaan yang dihasilkan manusia tidak pernah lepas dari inspirasi alam. Namun setelah manusia menciptakan mesin-mesin dengan bahan bakar mineral, lambat laun perubahan semakin terlihat dengan jelas. Alam, bumi, lingkungan ataupun apalah namanya, menjadi objek oleh manusia untuk dieksploitasi secara besar-besaran. Keharmonisan yang telahdibangun sebelumnya, kini berubah menjadi ajang balas dendam (Sururi, 2014).
Jika dirunut secara analisis-logis-rasional, munculnya tantangan ini adalah sebagai konsekuensi logis dari sikap, cara pandang, dan perilaku manusia yang memandang alam secara teknis-ekonomis. Krisis lingkungan hidup global saat ini dilansir akibat dari paradigma ekonomis dalam memandang realitas empirik yang ditopang oleh pilar teknologi. Hanya saja karena teknologi adalah pilar ekonomi, dapatlah cara berpikir itu disebut sebagai cara berpikir tekno-ekonomis yang tampil dalam wajah homo techno-economicus (Binawan, 2010).
Semua itu memicu terjadinya bencana alam yang dipercepat (accelarated disaster) khususnya tanah longsor, banjir, perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan. Dengan demikian, baik secara langsung maupun tidak, manusia turut berperan dalam terjadinya sebagian bencana alam (khususnya tanah longsor, banjir, perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan. Akibatnya, "Ibu Bumi" murka yang diwujudkan dengan terjadinya bencana alam, antara lain tanah longsor, kekeringan, banjir, erosi, rusaknya lingkungan, dan perubahan iklim global .Kegiatan atau ulah manusia yang menimbulkan terjadinya bencana disebut sebagai bencana anthropogene, sedang bencana alam yang disebabkan oleh aktivitas alam disebut sebagai bencana geogene.Bencana alam dapat terjadi di mana pun dan kapan pun tanpa memandang batas negara, bangsa, keyakinan, status ekonomu, negara maju atau berkembang (Tjandra, 2018).
Di luar kemampuan kita
Di tengah keindahan, kesuburan serta kekayaan sumber daya alam, Indonesia ternyata menyimpan berbagai potensi bencana, mulai dari banjir dikala musim penghujan, kekeringan, kebakaran hutan, gunung meletus hingga gempa bumi disertai tsunami sudah memakan banyak korban. Memang bencana bisa terjadi kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun, datang secara tiba-tiba dan diluar batas kemampuan manusia (Firmansyah, 2018).Yang namanya bencana, membuat kita semua ngeri. Membayangkan saja sudah cukup membuat kita ketakutan setengah mati. Jika bencana tersebut adalah di luar kemampuan manusia untuk mencegahnya, itu artinya kejadian tersebut memang membuat kita tidak berdaya untuk menghindar. Alam mengamuk kemudian meluluhlantakkan segala yang ada. Manusia menjadi sedemikian rapuh jika berhadapan dengan alam yang menggila. Kemudian setelah bencana tersebut berlalu...ada banyak luka ditinggalkan. Bukan sekadar luka fisik, trauma adalah luka hati yang lebih lama menyembuhkannya. Masalah psikis letaknya jauh...di dalam sana, sehingga bagi kita pasti lebih sulit kita pasti lebih sulit untuk mengobati, membalut dan menyembuhkannya (Marga, 2013).
Ada pelajaran penting yang bisa kita ambil sebagai umat beragama bahwa bencana merupakan ujian dari Allah. Bahwa ada kekuatan besar yang di luar kemampuan kita untuk mengendalikannya sehingga tidak ada yang perlu disombongkan atas pencapaian-pencapaian yang tampaknya luar biasa ini, padahal sesungguhnya kekuasaan Allah jauh tak terbatas (Ni'am, 2018).
Bencana merupakan peristiwa yang terjadi di luar kemampuan kita. Namun demikian, pengetahuan, informasi, dan kemampuan manajemen yang kita miliki dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi risiko yang terjadi (Frick dan Mulyani, 2006).
Kesadaran bahwa kita hidup di daerah bencana mendesak untuk ditumbuhkan dan ditingkatkan sehingga kita selalu mempersiapkan diri jika hal tersebut terjadi, yang bisa datang kapan saja. Dengan demikian, dampaknya bisa diminimalisasi (Ni'am, 2018).
Didasarkan pada kearifan lokal
Budaya sadar bencana sedapat mungkin didasarkan pada kearifan lokal. Tata nilai sosial dan budaya lokal dapat dijadikan pijakan untuk bertindak dalam penanggulangan bencana. Termasuk bagaimana mereka berkomunikasi dengan masyarakat ketika akan dan sedang terjadi bencana yang mengancam warga. Komunikasi sangat penting agar tidak menimbulkan kesalahpahaman (Rachmawati et al., 2018).Kearifan lokal masyarakat dapat digunakan sebagai bagian dari mitigasi bencana. Masyarakat di daerah, kata dia, umumnnya mempunyai nilai-nilai yang dianut untuk melindungi diri ketika bencana datang, seperti yang dilakukan masyarakat di Pulau Siemulue, Nangroe Aceh Darussalam. Kearifan lokal menyelamatkan warga dari bencana tsunami pada 2004 lalu. penduduk Pulau Siemuleu mengenal tsunami sebagai smog. Mereka belajar dari kejadian terdahulu bahwa smog terjadi setelah gempa kuat. Ketika gempa dirasakan warga di pesisir, mereka langsung evakuasi secara mandiri dan pergi ke perbukitan untuk menyelamatkan diri. Guna mengingatkan ancaman tsunami, ada juga syair mengenai smog yang dikenal penduduk pulau tersebut (Astuti, 2019).
Di Palu terdapat komunitas adat berbasis kearifan lokal. Komunitas adat tersebut memiliki pengetahuan cara menyelamatkan diri ketika ada bencana, terutama gempa bumi dan tsunami. Kabupaten Sigi dan Palu juga memiliki komunitas adat yang masih sangat taat terhadap hukum adat. Ada komunitas adat Kulawi, komunitas Wana Persangke, komunitas Wana Ngabulan, komunitas Tojo Una-una dan komunitas Morowali. Mereka memiliki pengetahuan adat terkait kebencanaan cukup baik, seperti mengetahui jalur evakuasi untuk anak dan keluarga, tahu pangan-pangan lokal sebagai makanan cadangan di tempat evakuasi, dan tahu struktur bangunan yang terbuat dari alam sehingga adaptif terhadap bencana. pengetahuan kearifan lokal terkait mitigasi bencana bisa diapresiasi dengan dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan muatan lokal dan dilatih secara terus-menerus agar mudah diingat (Purningsih, 2019).
Konon, Jepang yang notabene negara dengan teknologi yang canggih, tetap memanfaatkan kearifan lokal dan dimasukkan di dalam kurikulum di sekolah-sekolah mereka. Seperti kita ketahui, Jepang juga memiliki potensi gempa bumi yang tinggi. Masyarakat di Jepang dapat mengantisipasi akan adanya gempa dari tanda-tanda alam yaitu berupa bentuk awan yang ada di langit seperti tertarik menuju ke satu titik. Bentuk awan tersebut tidak seperti keadaan yang normal dan cenderung memanjang menyerupai garis (tidak bergumpal-gumpal). Kearifan lokal ini tentu saja dipadu dengan analisis ilmiah dari para pakar gempa di Jepang. Rupanya hal ini pun apabila kita perhatikan fenomena awan seperti ini sering muncul di angkasa Aceh. Barangkali setiap kita nanti dapat membuktikan atau minimal memperhatikan fenomena alam berupa bentuk awan ini. Konon pula, bentuk awan yang seperti tertarik menuju ke satu titik itu karena gaya gravitasi yang terjadi di daerah pusat gempa, sehingga berakibat pada bentuk awan (Santoso, 2012).
Berkawan dengan ancaman
Sebagai negara dengan tingkat kerawanan dan kerentanan yang tinggi, sudah saatnya Indonesia menempatkan ancaman bencana sebagai landasan utama dalam berbagai hal. Kerentanan harus dihilangkan. Kerawanan harus ditangai secara maksimal. Peringatan dini harus menjadi bagian dari upaya melindungi dan menyelamatkan warga negara dari ancaman bencana. Kesiapsiagaan harus menjadi bagian dalam menjalani hidup dan kehidupan. Berkawan dengan ancaman, bersiasat mengurangi risiko bencana. Ancaman bencana harus dipahami dengan sungguh-sungguh agar kita lebih waspada dan lebih siap. Waspada dan siap ketika bahaya datang mengancam. Lebih siap apa yang harus dilakukan, ke mana harus menyelamatkan diri, bertahan hidup atau mendapatkan bantuan (Walhi, 2007).Ketidaktahuan akan fenomena atau proses alam atau sering disebut sebagai ancaman alam (istilah yang keliru/kurang tepat), hal inilah yang sering menimbulkan bencana. Jika kita bijak dalam menyikapi alam, kita akrab dan bersahabat dengan alam maka ancaman alam tersebut dapat kita manfaatkan menjadi sumberdaya alam atau berkah. Sekarang tinggal kita mau pilih yang mana antara berkah atau musibah. Proses alam yang sama bisa menghasilkan ancaman juga menghasilkan sumberdaya baik mineral tambang yang berharga atau pemandangan yang sangat indah yang bisa menarik wisatawan (Adi, 2016).
Cara pandang yang positif dalam melihat ancaman bencana di tanah air ini adalah melihat alam yang banyak tantangan dan bahaya ini sebagai laboratorium alam untuk bencana, bukan supermarket. Dengan berpandangan seperti ini maka kita harus memanfaatkan laboratorium ini untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membuat solusi menghadapi ancaman bencana yang pasti akan banyak yang membutuhkan. Segala sesuatu yang terjadi di alam ini selalu ada solusinya yang harus kita cari (Adi, 2016).
Meskipun getir dan pahit, itulah realita yang seringkali harus dihadapi oleh negara rawan bencana alam seperti Indonesia. Bukan hanya gempa bumi dan tsunami, Indonesia juga merupakan negara dengan potensi bencana gunung api tertinggi di dunia. Bencana alam memang mungkin tidak bisa dicegah dan sangat sulit diprediksi, tapi itu bukan berarti kita hanya bisa pasrah dan menyerah. Lihat saja cara orang Jepang hidup berdampingan dengan ancaman bencana alam. Kurikulum tentang risiko bencana alam bahkan sudah diajarkan di Negeri Sakura sejak anak-anak usia TK (Galeshita, 2019).
Bersahabat dengan bencana, maka masyarakat bisa mencegah kerugian besar yang diakibatkan bencana alam. Bersahabat itu memperlakukan layaknya sahabat. Kita harus tahu kapan dia marah, kapan dia muncul dan bagaimana kita perlakukan ketika dia marah atau sedih (Husha, 2018).
Peningkatan kapasitas masyarakat
Indonesia memiliki kerentanan dan potensi bencana yang sangat tinggi ditinjau dari beberapa aspek, seperti: aspek geografis, klimatologis, geologis, dan sosial-demografis. Indonesia sebagai negara tropis juga memiliki resiko tinggi karena ancaman banjir, tanah longsor, dan wabah penyakit. Indonesia merupakan negara yang diperhitungkan sebagai salah satu yang paling rentan bencana alam, dengan berbagai jenisnya, di dunia. Sebagai gambaran awal, sekitar 13 persen gunung berapi dunia ada di wilayah kepulauan Indonesia, dan seluruhnya berpotensi menimbulkan bencana alam dengan intensitas dan kekuatan yang berbeda-beda (Belanawane cit. Sukmana, 2018).Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan bencana, dengan karakteristik yang berbeda, sehingga penanganan terhadap setiap bencana pun berbeda. Untuk itu, identifikasi karakteristik dan potensi bencana baik secara nasional maupun lingkungan sekitar, sangat diperlukan pengetahuan untuk pengurangan risiko bencana. Pemahaman tentang dinamika di permukaan bumi (alam dan manusia), yang alam di suatu wilayah memiliki implikasi secara langsung terhadap masyarakat di wilayah tersebut. Partisipasi masyarakat untuk mengurangi dan menghindari risiko bencana penting dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat (Suryanti et al. cit. Desfandi, 2014).
Kapasitas masyarakat adalah interaksi modal manusia, sumber daya organisasi, dan keberadaan modal sosial dalam suatu masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kolektif dan meningkatkan atau mempertahankan kesejahteraan masyarakat itu. Kapasitas masyarakat dapat beroperasi melalui proses sosial informal dan/atau upaya terorganisir oleh individu, organisasi, dan jaringan sosial yang ada di antara mereka dan antara mereka dan sistem yang lebih besar dimana masyarakat menjadi bagian (Chaskin et al., 2001).
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kapasitas ditekankan pada interaksi sosial antar individu, keberadaan dan pemanfaatan organisasi sebagai modal sosial yang dapat dimanfaatkan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi secara kolektif guna meningkatkan kemampuan masyarakat. Disamping itu, peningkatan kapasitas dapat berjalan melalui interaksi individu, maupun organisasi, yang terbentuk dalam sebuah jaringan sosial melalui pemanfaatan sumber yang ada, baik di dalam maupun di luar masyarakat (Saluki, 2015).
Jika merujuk pada siklus manajemen bencana, peningkatan kapasitas masyarakat dilakukan sebelum bencana terjadi (pra bencana). Hal tersebut sering dilakukan melalui berbagai macam penyuluhan terhadap masyarakat khususnya di wilayah dengan tingkat risiko bencana sukup tinggi. Namun saat ini peningkatan kapasitas dan peran aktif masyarakat tidak hanya dilakukan dengan metode penyuluhan semata, akan tetapi mulai melibatkan masyarakat untuk siaga terhadap bencana. Keterlibatan kelompok masyarakat dalam kegiatan pengurangan risiko bencana menjadi sangat penting karena jika tanpa peran aktif masyarakat, pemerintah akan sangat kesulitan menangani bencana yang terjadi di wilayah Indonesia yang begitu luas (Humaedi et al., 2016).
Peningkatan kapasitas masyarakat diharapkan dapat memperkecil faktor kerawanan dan kerentanan. Ketika masyarakat dapat melihat tanda-tanda alam saat akan terjadi bencana, mengetahui apa yang harus dilakukan saat kejadian bencana dan pasca bencana serta kapan saat aman untuk kembali menempati tempat tinggal, diharapkan dapat memperkecil korban terutama korban jiwa yang terjadi saat kejadian bencana. Peningkatan pengetahuan dan apa yang harus dilakukan saat kejadian bencana tersebut merupakan faktor kapasitas masyarakat. Semakin tinggi tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat saat terjadi bencana, diharapkan dapat memperkecil tingkat resiko bencana yang ditimbulkan oleh faktor kerawanan dan kerentanan (BNPB cit. Widuati dan Budiman, 2016).
Pelaksanaan metode parsitipatif merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendukung meningkatkan pemahaman masyarakat. Asas yang melandasi pendekatan ini adalah "pemberdayaan', yaitu memperhatikan kapasitas awal yang dimiliki oleh masyarakat dengan kegiatan yang telah dibangun oleh masyarakat sendiri sehingga masyarakat mampu mengembangkan kapasitasnya sendiri. Wujud nyata asas ini ialah perlunya lembaga-lembaga pemerintah, lembaga swasta, dan lembaga swadaya masyarakat sekaligus merupakan upaya mengurangi kerentanan yang ada (Kirana cit. Sunarto et al., 2018).
Pada tataran inilah peran penting perguruan tinggi untuk meningkatkan kapasitas masyarakat terutama dalam melakukan mitigasi bencana. Perguruan tinggi memiliki amanat untuk menerapkan Tri Dharma yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dimana sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat, perguruan tinggi memiliki kewajiban dalam mencerdasakan kehidupan bangsa dan meningkatakan kesejahteraan masyarakat dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi di tengah masyarakat (Paripurna et al., 2019).
Urgensi Tanggap Bencana
Masyarakat merupakan aktor utama yang merasakan langsung dampak dari bencana, perlu dibangun bersama upaya tanggap darurat terhadap bencana. Dampak sebuah bencana akan menjadi semakin parah ketika adanya peningkatan jumlah populasi penduduk di daerah rawan bencana, rendahnya tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi di tingkat pemerintahan serta rendahnya kesadaran masyarakat dalam upaya mempersiapkan diri menghadapi bencana (Farhi, 2012).Pentingnya kesadaran setiap warga untuk mengetahui tentang tanggap darurat bencana dinilai sangat penting, agar jika sewaktu- waktu terjadi bencana, maka harapannya setiap warga tahu apa yang harus dilakukannya, setidaknya hal tersebut dapat mengurangi dampak yang timbul akibat bencana tersebut (Prihatmaji et al., 2013).
Pada dasarnya bencana merupakan fenomena alam yang kita tidak tahu kapan bisa terjadi, maka selayaknya bagi masyarakat yang hidup di tengah-tengah fenomena tersebut untuk dapat memahami karakteristik fenomena tersebut sehingga tidak menjadi bencana menimbulkan korban jiwa) bagi masyarakat. Dengan adanya program penyuluhan dapat memberikan sedikit pengetahuan atau sedikit merefresh pengetahuan masyarakat tentang tanggap darurat bencana (Prihatmaji et al., 2013).
Kesadaran untuk tanggap dalam menghadapi bencana alam ini harus ditingkatkan lagi, untuk meningkatkan pemahaman tentang cara menghadapi bencana alam pada masyarakat khususnya untuk anak-anak, mengingat Indonesia merupakan negara yang akrab dengan bencana alam. Juga anak-anak rentan kerap menjadi korban jiwa, baik disebabkan oleh bencana alam maupun penyakit dampak bencana alam itu sendiri, maka dari itu dibutuhkan suatu media edukasi bagi anak-anak, untuk mengetahui tentang cara mengantisipasi bencana alam (Lestari, 2017) sehingga mereka siap untuk selamat.
Menurut Dr. Kartini Kartono, seorang penulis buku psikologi anak, bahwa anak diusia 8-12 tahun, memiliki minat di berbagai macam aktivitas, selain itu anak di usia ini memiliki intensitas ingatan paling besar dan kuat, jika dibandingkan dengan balita. Menurut beliau, balita memang cepat mengenal lingkungan tempat tinggalnya, akan tetapi pengenalan tersebut tidak lengkap, belum terperinci dan balita masih memiliki ingatan yang samar-samar. Beberapa hal dalam buku psikologi anak ini dapat menjadi salah satu acuan pertimbangan dalam membuat media edukasi yang interaktif untuk anak-anak. Salah satu media yang mampu menyampaikan informasi dengan efektif adalah buku ilustrasi yang interaktif, buku juga dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama dengan informasi yang banyak (Lestari, 2017).
Anak-anak yang juga merupakan subyek dalam upaya mengantisipasi bencana alam, dimana pemahaman akan cara mengantisipasi bencana alam masih rendah. Pengetahuan yang rendah terhadap bencana ini kemudian mengakibatkan tidak adanya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana, akibatnya tiap kali terjadi bencana, banyak korban jiwa yang berjatuhan dan sebagian korban adalah kategori kelompok dengan tingkat kerentanan yang cukup tinggi, yaitu kelompok anak-anak. Anak-anak rentan akan penyakit ataupun menjadi korban jiwa karena tiap kali bencana terjadi, mereka biasanya tidak mengetahui cara menyelamatkan diri (Talita, 2010).
Menjaga Lingkungan melalui kearifan lokal
Kearifan lokal merupakan wujud dari perilaku komunitas atau masyarakat tertentu sehingga dapat hidup berdampingan alam/ lingkungan tanpa harus merusaknya. Prawiladilaga cit. Sufia et al. (2016) menguraikan bahwa kearifan lokal merupakan suatu kegiatan unggulan dalam masayarakat tertentu, keunggulan tersebut tidak selalu berwujud dan kebendaan, sering kali di dalamnya terkandung unsur kepercayaan atau agama, adat istiadat dan budaya atau nilai-nilai lain yang bermanfaat seperti untuk kesehatan, pertanian, pengairan, dan sebagainya. Merujuk pengertian tersebut dapat dijelaskan pula bahwa kearifan lokal sudah mengakar, bersifat mendasar, dan telah menjadi wujud perilaku dari suatu warga masyarakat guna mengelola dan menjaga lingkungan dengan bijaksana.Kearifan lokal menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2009 bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum dimana seluruh kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan beberapa hal diantaranya: (1) keragaman karakter dan fungsi ekologis; (2) sebaran penduduk; (3) sebaran potensi sumber daya alam; (4) kearifan lokal; (5) aspirasi masyarakat; dan (6) perubahan iklim (Maridi, 2015).
Kekuatan budaya ini menjadi faktualitas yang perlu disosialisasikan dan diinternalisasikan melalui suatu wahana sistemik berupa tulisan ilmiah. Disebutkan oleh Ardelt (2004) bahwa sesuatu kearifan tidak dapat dilepaskan dari penghayatnya karena selalu dimengerti pada tataran eksperiensial. Penghayatan nilai-nilai suatu kearifan lokal dapat menjadi kesadaran yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku (Sari et al., 2018).
Salah satu kearifan lokal dalam hal menjaga kelestarian hutan yang membuat penulis terkesan adalaha adat yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Ciomas, Ciamis, Jawa Barat. Desa Ciomas yang secara geografis berada di kaki gunung Sawal (1764 mdpl) ini memiliki satu adat budaya yang begitu sistematis dan terprogram yang berkaitan dengan pelestarian hutan (Rapanna, 2016).
Masyarakat di Desa ini memiliki satu kearifan lokal warisan nenek moyang mereka mengenai pelestarian lingkungan yang sampai saat ini masih dengan teguh mereka jaga. Salah satunya adalah dengan masih menetapkannya Leuweung Larangan (hutan larangan) di kawasan gunung Sawal sebagai tempat yang harus betul-betul dijaga kelestariannya (Rapanna, 2016).
Akan tetapi posisi kearifan lokal saat ini berada dalam posisi yang lemah. Arus kapitalisme lebih mendominasi dalam sendi-sendi kehidupan komunitas masyarakat. Dalam pandangan kapitalisme, analisis untung dan rugi lebih dominan dan lebih penting daripada dari mana sumber pengetahuan tersebut berasal. Berapa banyak karya komunitas lokal kita yang hilang oleh arus perdagangan kapitalisme yang sangat tidak berpihak pada komunitas lokal itu sendiri. Dengan perkembangan zaman dan kemajuan peradaban umat manusia yang saat ini memasuki milenium ketiga telah menyebabkan terjadinya proses penghancuran kearifan tradisional yang ditandai dengan perubahan tatanan sosial, kurangnya nilai humanis, kemiskinan moral, sifat ketergantungan atau berkurangnya kemandirian masyarakat dan terdegradasinya sumberdaya alam dan lingkungan yang merupakan pendukung kehidupan manusia. Hal ini juga dipengaruhi oleh sikap masyarakat Indonesia yang belum mampu menjaga budaya, moral, dan sikap terhadap lingkungan sekitar mereka. Hal tersebut disebabkan, antara lain oleh tidak adanya penghargaan dan pengakuan terhadap nilai-nilai kearifan tradisional, adanya kecenderungan globalisasi dunia yang dapat menembus batas-batas negara sampai ke level komunitas suatu kampung (Thamrin, 2013).
Terakhir, menyingkap kebenaran positif
Jika krisis merupakan sesuatu yang buruk, sebuah bencana pastilah lebih buruk. Namun, bencana menyingkap kebenaran-kebenaran positif mengenai perilaku manusia. Seperti halnya dalam krisis, bencana mampu mengembangkan kualitas-kualitas terbaik kita sebagai manusia dan makhluk sosial. Begitu pula dengan krisis yang kita alami (Day, 2007).Banyaknya bencana tidak boleh membuat bangsa semakin lemah. Bencana bisa membuat bangsa makin kuat dan tangguh apabila bersungguh-sungguh belajar dan memperbaiki diri. Tidak bijaksana jika sesama bangsa saling menyalahkan dan menghakimi, baik secara teologis maupun politis. Musibah yang terjadi pada tahun politik ini, hendaknya menjadi momentum untuk berbagi, belajar, dan bekerja sama, apa pun agama, partai, dan siapa pun pilihan presidennya (Mu'ti, 2019).
Bumi adalah tuan rumah. Keberadaannya lebih dulu dari kita. maka, kita merupakan tamu. Sebagain tamu kitalah yang mestinya menjaga. Kondisi alam dengansegala mekanismenya tidak mungkin kita rekayasa. Upaya paling logis adalah meminimalisir dampak kerusakan apabila bencana menimpa.Tindakkan kita yang harus terus dilakukan adalah menata ruang secara bijak, sosialisai dan simulasi penanganan bencana dan upaya-upaya inovasi teknologi untuk mendeteksi dini bencana yang melanda. Berdiam diri tanpa belajar pola-pola dan tanda-tanda bencana layaknya membiarkan anak kecil bermain di pinggir kolam yang dalam (Anonim, 2017).
Kita sering sekali takut dengan bencana, Indonesia memang sangat rentan terjadinya bencana maka kedepan kita harus lebih semangat lagi membangun karakter masyarakat dengan gerakan “mari bersahabat dengan bencana” jangan kita lari dari bencana tapi terus kita cari solusi yang terbaik untuk masyakarat agar tidak takut dan panik dalam menghadapi bencana, terkadang yang merusak bumi itu karena ulah manusia juga ayo kita kampanye selamatkan bumi dari oknum manusia yang tidak bertanggung jawab (Jumaidir, 2018).
"Tulisan ini diikustertakan dalam Lomba Blog Kreativitas Kebencanaan Tangguh Award 2019"
#TangguhAwards2019 #KitaJagaAlam #AlamJagaKita #SiapUntukSelamat #BudayaSadarBencana
Sumber Pustaka :
Adi. 2016. TTX Menghadapi Ancaman Bencana Gempabumi dan Tsunami.<https://www.bnpb.go.id/ttx-menghadapi-ancaman-bencana-gempabumi-dan-tsunami>. Diakses tanggal 10 September 2019.
Anonim. 2017. ‘Bersahabat’ dengan Bencana Alam. <https://monitor.co.id/2017/12/19/bersahabat-dengan-bencana-alam/>. Diakses tanggal 10 September 2019.
Astuti, I. 2019. Kearifan Lokal dan Peran Pemda Penting untuk Mitigasi Bencana.<https://mediaindonesia.com/read/detail/246210-kearifan-lokal-dan-peran-pemda-penting-untuk-mitigasi-bencana>. Diakses tanggal 10 September 2019.
Binawan, Al. A. L. 2010. Homo Eco-Religiosus : Sebuah Sharing Permenungan, Hipotesis untuk Diskusi. Diskursus Vol. 9 No. 2 : 193-211.
Chaskin, R. J., P. Brown, S. Venkatesh, dan A. Vidal. 2001. Building Community Capacity. Aldine De Gruyter. New York.
Day, L. 2007. Selamat Datang Krisis : Keluar dari Jurang Kepedihan Menuju Kebahagiaan Sejati. PT Mizan Publika. Jakarta.
Desfandi, M. 2014. Urgensi Kurikulu Pendidikan Kebencanaan Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia. Sosio Didaktika Vol. 1 No. 2 : 191-198.
Dewi, P. P. 2012. Mencintai Bumi, Mencintai Ibu.<https://www.kompasiana.com/prapuspa/5517e6daa333117107b66293/mencintai-bumi-mencintai-ibu>. Diakses tanggal 7 September 2019.
Farhi, Z. 2012. Tingkat Kerentanan dan Indeks Kesiapsiagaan Masyarakat terhadap Bencana Tanah Longsor di Kecamatan BantarKawung Kabupaten Brebes. Majalah Geografi Indonesia Vol. 26 No. 1 : 80 ‐ 97.
Firmansyah, R. 2018. Peringati Hari Kesiapsiagaan Bencana, DT Peduli Gelar Seminar Nasional.<http://www.prfmnews.com/berita.php?detail=peringati-hari-kesiapsiagaan-bencana-dt-peduli-gelar-seminar-nasional>. Diakses tanggal 10 September 2019.
Frick, H. dan T. H. Mulyani. 2006. Seri Pengetahuan Lingkungan-Manusia-Bangunan : Pedoman Bangunan Tahan Gempa. Kanisius. Yogyakarta.
Galeshita, A. 2019. 10+ Cara ‘Berteman’ dan Hidup Berdampingan dengan Bencana Ala Jepang. Semua Warganya Diajari dari TK : Cara Jepang Mengatasi Bencana Alam. < https://www.hipwee.com/feature/10-cara-berteman-dan-hidup-berdampingan-dengan-bencana-ala-jepang-semua-warganya-diajari-dari-tk/>. Diakses tanggal 8 September 2019.
Hediarto, I. 2016. Optimalisasi Peran Kodim dalam Penanganan Tanggap Darurat Bencana Alam dam Implikasinya terhadap Ketahanan Wilayah : Studi Di KODIM 0613/Ciamis, Jawa Barat. Jurnal Ketahanan Nasional, Vol. 22 No. 3 : 321-333.
Husha, E. K. 2018. Yuk Bersahabat dengan Bencana.<https://indopos.co.id/read/2018/10/17/152628/yuk-bersahabat-dengan-bencana/>. Diakses tanggal 10 September 2019.
Jumaidir, D. 2018. Bersahabat Dengan Bencana.<https://www.acehtrend.com/2018/01/01/bersahabat-dengan-bencana/>. Diakses tanggal 10 September 2019.
Lestari, D. S. 2017. Perancangan Media Edukasi Tanggap Menghadapi Bencana Banjir untuk Anak-anak di Dayeuhkolot. E-Proceeding of Art & Design Vol. 4 No. 3 : 759-766.
Marga, G. 2013. Secangkir Teh Hangat Kedamaian. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Maridi. 2015. Mengangkat Budaya dan Kearifan Lokal dalam Sistem Konservasi Tanah dan Air. Proceeding Biology Education Conferenece Vol. 12 No. 1 : 20-39.
Muslimin. 2018. Sosialisasi Tanggap Bencana pada Masyarakat di Kec. Lemito, Kab. Pohuwanto untuk Mewujudkan Desa Tangguh Bencana melalui Pendekatan Komunikasi Efektif dengan Bahas yang santun. <http://repository.ung.ac.id/get/singa/1/1545/SOSIALISASI-TANGGAP-BENCANA-PADA-MASYARAKAT-DI-KEC-LEMITO-KABPOHUWATO-UNTUK-MEWUJUDKAN-DESA-TANGGUH-BENCANA-MELALUI-PENDEKATAN-KOMUNIKASI-EFEKTIF-DENGAN-BAHASA-YANG-SANTUN.pdf>. Diakses tanggal 14 September 2019.
Mu'ti, A. 2019. Bencana yang Mempersatukan. <https://nasional.sindonews.com/read/1367235/18/bencana-yang-mempersatukan-1546387455>. Diakses tanggal 10 September 2019.
Ni'am, A. M. 2018. Menjumput Hikmah dari Musibah di Lombok dan Sulawesi Tengah. <https://www.nucare.id/berita/opini/menjumput-hikmah-dari-musibah-di-lombok-dan-sulawesi-tengah>. Diakses tanggal 10 September 2019.
Nur, M.C. 2019. Kata Bijak Cak Nun. <https://books.google.co.id/books?id=O5OnDwAAQBAJ&dq=Manusia+dan+alam+bagaikan+anak+dan+ibu&hl=id&source=gbs_navlinks_s>. Diakses tanggal 7 September 2019.
Paripurno, E. T., K. Munadi, S. Koesuma, N. Ismail, dan D. Mardiatmo. 2019. Panduan Pembelajaran Kebencanaan untuk Mahasiswa di Perguruan Tinggi. Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan merupakan unsur pelaksana di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Jakarta.
Prihatmaji, Y. P., E. Widodo, dan I. Nugroho. 2013. Penyuluhan Peningkatan Keadaran Masyarakat terhadap Tanggap Bencana (Khususnya Longsor). Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan Vol. 2 No. 2 : 119-123.
Purningsih, D. 2019. Kearifan Lokal, Mitigasi Bencana yang Terlupakan.<https://www.greeners.co/berita/kearifan-lokal-mitigasi-bencana-yang-terlupakan/>. Diakses tanggal 10 September 2019.
Rachmawati, T. A. , D. Rahmawati, A. Susilo. 2018. Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Tata Ruang. Universitas Brawijaya Press. Malang.
Rapanna, P. 2016. Membumikan Kearifan Lokal Menuju Kemandirian Ekonomi. CV Sah Media. Makassar.
Saluki. 2015. Peningkatan Kapasitas Kelompok Masyarakat Siaga Bencana dalam Mengurangi Risiko Bencana Gunung Tangkubanparahu Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Vol. 14 No. 2 : 161-173.
Santoso, T. 2012. Tanggap Bencana dengan Kearifan Lokal. <https://aceh.tribunnews.com/2012/04/22/tanggap-bencana-dengan-kearifan-lokal>. Diakses tanggal 10 September 2019.
Sari, R. H., T. Husin, dan Syamsidik. 2018. Kearifan Lokal Smong Masyarakat Pulau Simeulue dalam Kesiapsiagaan Bencana 12 Tahun PascaTsunami. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 9 No. 1 : 1-8.
Sidik, J. M. 2010. Alam itu Ibu, "Mother of Earth". <https://www.antaranews.com/berita/223119/alam-itu-ibu-mother-of-earth>. Diakses tanggal 7 September 2019.
Soedrajat. A. 2017. Toleransi dengan Alam. <https://kumparan.com/aming-soedrajat/toleransi-dengan-alam>. Diakses tanggal 17 September 2019.
Sufia, R., Sumarno, dan Ach. Amirudin. 2016. Kearifan Lokal dalam Melestarikan Lingkungan Hidup : Studi Kasus Masyarakat Adat Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Pendidikan Vol. 1 No. 4 : 726-731.
Sukmana, O. 2018. Pengetahuan Manajemen Bencana dan Kearifan Sosial di Kabupaten Malang. Sosio Konsepsia Vol. 7 No. 3 : 190-204.
Sunarto, M. A. Marfai, D. Mardiatno. 2018. Penaksiran Multirisiko Bencana di Wilayah Kepesisiran Parangtritis : Slam Era Teknologi Informasi dan Komunikasi. UGM Press. Yogyakarta.
Sururi, A. 2014. Menggapai Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia : Studi Perbandingan Etika Islam dan Etika Ekofeminisme. Fikrah Vol. 2 No. 1 : 95-122.
Talita, K. 2010. Perancangan Komunikasi Visual Publikasi Buku Panduan Menghadapi Bencana untuk Anak-anak “Yuk Kita Siaga!”. Tugas Akhir. Jurusan Desain Komunikasi Visual . Fakultas Ilmu Komunikasi dan Multimedia. Universitas Bina Nusantara. Jakarta.
Thamrin, H. 2013. Kearifan Lokal dalam Pelestarian Lingkungan. Kutubkhanah Vol. 16 No. 1 : 46-59.
Tjandra, K. 2018. Empat Bencana Geologi yang Paling Mematikan. UGM PRESS. Yogyakarta.
Walhi. 2007. Bersahabat Dengan Ancaman (Modul Guru). Grasindo. Jakarta.
Widuatie, Mrr. R. E. dan S. A. Budiman. 2016. Peningkatan Kapasitas Masyarakat Rawan Bencana Berbasis Komunitas : Studi Kebencanaan di Desa Pakis Kecamatan PAnti Kabupaten Jember.<http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/73292>. Diakses tanggal 20 September 2019.
distributor cisco
BalasHapusCircuit Breaker Finder HT Italia
BalasHapus