Banyak hal yang menyebabkan penurunan minat milenial dalam berkoperasi. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya pengetahuan milenial tentang koperasi. Selain itu, munculnya oknum yang hanya memanfaatkan koperasi untuk mendapatkan fasilitas, memperburuk citra koperasi di Indonesia. Berita yang beredar di milenial tentang koperasi didominasi sisi negatifnya saja. Padahal banyak sekali keuntungan yang didapatkan ketika menjadi anggota koperasi. Sesuai dengan tujuan utama koperasi yaitu menyejahterakan anggotanya (Harususilo, 2018).
Milenial mempresepsikan koperasi sebagai sebuah badan usaha non bank yang menyediakan pinjaman uang dan setelah punya uang menabungnya ya di bank (lebih memilih nabung di bank karena di bank "katanya" ada banyak bonusnya) serta Milenial juga memandang koperasi hanya sebagai toko seragam (anggapan seorang Milenial yang sedang sekolah adalah tempat beli seragam). Milenial juga memandang koperasi sebagai bentuk usaha jaman dulu (jadul) karena tidak adanya teknologi yang digunakan dalam setiap kegiatan koperasi, baik kegiatan usaha maupun kegiatan lembaga (Setiawan, 2018).
Saat ini koperasi cenderung dianggap barang kolot, tidak modern dan banyak sistemnya berjalan di luar jalur dengan maraknya kasus penipuan. Kesan buruk tersebut akhirnya membuat milenial menjadi antipati terhadap koperasi, padahal koperasi bisa menjadi pilihan utama untuk mendapatkan modal usaha dengan mudah (Perdana, 2019).
Selama ini usaha koperasi terkesan amatiran, manajemen sekadarnya dan selalu menunggu bantuan sosial atau kredit murah dari pemerintah. Anggapan itu membuat sejumlah koperasi yang sejak awal memang menjalankan usahanya secara genuine jadi amat terganggu. Tudingan terhadap koperasi sebagai sarana investasi bodong beberapa waktu lalu, juga membuat koperasi makin tak bertaji. Kita harus melawan stigma negatif terhadap koperasi, jika orang-orang koperasi diam saja maka tudingan terhadap usahanya yang tidak profesional itu mungkin saja benar (Anonim, 2015).
Koperasi sebagai sebuah entitas bisnis futuristik yang berikan kesempatan setiap orang menjadi pemiliknya secara terbuka. Ini adalah harapan mada depan bagi Indonesai dan kemanusiaan karena bisnis saat ini dirasakan semakin akumulatif dan konsentratif ke tangan satu orang yang berkecenderungan menjadi penindas (Sofia, 2018).
Jadi yang terpenting adalah rebranding, koperasi harus diperkenalkan kembali dengan pandangan yang berbeda dengan penyampaian berbeda. Karena anak milenial punya tantangan berbeda dengan masa lalu. Koperasi hanya perlu branding ulang, sebab menurutnya secara mekanisme dan konsep koperasi sudah memadai tapi perlu dikolaborasikan dengan pemuda (Perdana, 2019).
Bukan Usaha Kaum Pinggiran
Koperasi seringkali masih dianggap sebagian kalangan sebagai badan usaha kelas dua di Indonesia. Padahal potensi dan kekuatan koperasi yang bersumber dari anggota-anggotanya bisa menjadikan koperasi kokoh dalam menghadapi gejolak ekonomi. Jiwa gotong-royong yang ada di tubuh koperasi menjadi motor utama penggerak usaha (Idris, 2018).
Tidak mudah mengubah mindset yang puluhan tahun ngawur itu. Bahwa badan usaha pengusung misi sakral “soko guru” itu hanyalah atribut ekonomi kelas pinggiran. Sebuah lembaga tempat meminjam uang di kala tanggung bulan, atau paling banter sekadar penyalur program sembako. Dengan stigma yang terlanjur kerdil itu, sulit dipercaya jika koperasi mampu memutar bisnis skala raksasa itu (Muchtar, 2017).
Bagi anda anak muda zaman now, jangan bayangkan koperasi sebagai usaha kaum pinggiran atau bisnis orang miskin, koperasi sebenarnya adalah solusi sangat jenius bagi setiap orang yang ingin bisa bersaing dan mendapatkan keuntungan materi (Gusbud, 2018). Di negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Denmark, Jerman, termasuk Belanda memiliki banyak koperasi yang maju dan memiliki usaha bisnis yang mendunia. Contohnya di Belanda ada Rabonk yang berkembang di Internasional itu dimiliki koperasi. Terus di Prancis ada Carrefour yang berkembang pesat, itu juga dimiliki koperasi (Himawan, 2016).
Contoh lain adalah: JA Zen-noh yang jadi usaha pertanian terbesar di Jepang. Sunkist Cooperative Growers, penghasil jus yang mendunia. Koperasi Susu Amul adalah penghasil susu olahan terbesar di India. Koperasi perlistrikan NRECA yang menguasai hampir seluruh listrik pedesaan di hampir seluruh negara bagian Amerika Serikat. Credit Union Desjardin di Kanada yang asetnya Rp 4.200 triliun melebihi total seluruh asset Badan Usaha Milik Negara kita. Masih banyak lagi contoh koperasi kelas dunia (Suroto, 2018).
Bagaimana dengan Indonesia sendiri ? Kita patut berbangga dengan dua koperasi besar, yakni Ketua Credit Union (CU) Sauan Sibarrung, Tana Toraja Sulawesi Selatan, Fredy Rante Taruk dan Ketua KSP Sejahtera Bersama. Dua koperasi besar yang berbasis digital, CU Sauan Sibarrung kini sudah memiliki 34 ribu anggota dengan omzet lebih dari Rp 400 miliar. Ketua koperasinya merupakan lulusan doktor di Universitas Triksakti. Adapun KSP Sejahtera Bersama, yang berkantor pusat di jalan Pajaran Bogor, memiliki omzet Rp 2,5 triliun dengan jumlah anggota 200 ribu orang dan 104 cabang di berbagai kota. Kalau memiliki omzet triliunan itu sudah setara dengan perusahaan besar (Sholeh, 2019).
Berdasarkan rilis World Cooperative (WCM) tahun 2018. Koperasi Telekomunikasi Selular (Kisel) berhasil masuk dalam deretan 100 besar koperasi terbesar di dunia, tepatnya berada di peringkat 94. Penilaian itu sendiri berbasis rasio pendapatan koperasi berbanding PDB Nasional. berdasarkan Rilis WCM tahun 2018 dengan menggunakan data Tahun Buku 2016, KISEL berhasil meraup omzet hingga Rp 5,7 Triliun, sementara PDB Indonesia di tahun 2016 berada di angka 932,2 miliar US Dollar. Selain itu, Kisel juga menduduki peringkat pertama pada kategori Other Services atau jasa lainnya dengan penilaian berbasis rasio pendapatan koperasi berbanding PDB Nasional. Di kategori ini, Kisel mengungguli Selectour dari Prancis dan Koperasi Permodalan Felda Malaysia Berhad dari Malaysia. Pencapaian Kisel sebagai peringkat 94 dunia, akan menjadi contoh bagi koperasi lainnya agar dapat tumbuh besar dan memelihara profesionalisme (Alfi, 2019).
Dalam upaya menggalakkan koperasi di kalangan milenial, Koperasi seharusnya diisi oleh anak-anak muda yang produktif dan kreatif. Tetapi ini justru menjadi salah satu permasalahan yang masih sulit diselesaikan, mengingat minimnya pemahaman mengenai koperasi di kalangan milenial. Padahal, secara pengembangan bisnis, koperasi memiliki posisi yang sama dengan PT, yaitu dapat melakukan ekspor, dapat bergerak di bidang industri kreatif dan melakukan usaha-usaha yang sama seperti yang dilakukan PT. Koperasi juga memiliki nilai tambah, yaitu koperasi bisa memiliki PT, namun PT tidak bisa memiliki koperasi. Di dalam perusahaan, koperasi karyawan tidak dapat dinyatakan milik perusahaan, melainkan milik karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut (Putri, 2018).
Tetap Eksis dengan Rebranding
Mahasiswa sebagai kelompok kaum milenial menganggap bahwa koperasi sebagai “barang jadul” hanya sebagai pelengkap pelajaran di sekolah. Menjadi anggota koperasi “kurang keren” dan “tidak hits”. Pandangan tersebut memang tidak salah karena koperasi tidak mampu mengantisipasi perkembangan lingkungan bisnis. Koperasi tidak mampu memenuhi kebutuhan anggota dan tidak memberikan pelayanan dengan cara kekinian. Kegiatan bisnis koperasi masih bersifat tradisional dengan mengandalkan perdagangan ritel dan jasa simpan pinjam (Sujarwo dan Listiawati, 2019).
Salah satu upaya yang dinilai efektif untuk kembali meningkatkan pamor koperasi di kalangan generasi millenial adalah melalui rebranding koperasi (TODOR, 2014). Rebranding koperasi di kalangan generasi milenial ditujukan untuk mengubah paradigma negatif generasi muda tentang koperasi yang selama ini berkembang, mendobrak keterbatasan pemahaman tentang koperasi, serta mengajak mereka untuk mereposisi koperasi sebagai sebuah sistem ekonomi masa depan yang modern. Juga membuka pikiran generasi milenial bahwa salah satu yang bisa menjawab tantangan kebangsaan adalah koperasi. Karena, koperasi mengajarkan nilai kebersamaan dan keadilan untuk mengejar kesejahteraan anggota secara bersama-sama (Firmansyah, 2018).
Berdasarkan uraian di atas, jika koperasi ingin tetap eksis, maka koperasi harus melakukan langkah-langkah untuk mereposisi image atau rebranding sesuai dengan karakter generasi milenial dan tantangan-tantangan yang akan dihadapi di era milenial. Ada beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah maupun koperasi dalam rangka rebranding (Riandianti, 2018) :
a. Perubahan Nama
Bagi sekelompok orang, ganti nama dianggap sakral sehingga penggantian nama seseorang harus mengikuti aturan atau ritual agama dan keyakinannya. Ada pula yang mengaitkannya dengan tradisi, misalnya orang yang ganti nama harus dibarengi dengan doa-doa dan sajian makanan, seperti nasi kuning. Kita tidak bisa menilai apakah itu perlu atau tidak, terserah yang meyakininya (Zhaenudin, 2014).
Di lain pihak, ganti nama adalah hal lumrah atau biasa bagi sebagian orang. Bahkan, demi popularitas, banyak artis Indonesia mengganti namanya yang terkesan kampungan menjadi kekota-kotaan. Juga, tidak sedikit perusahaan mengganti nama juga logo demi mendapatkan hoki, keberuntutngan, dan kemajuan. Dengan mengganti nama, diyakini ada spirit baru yang dapat mengubah semangat dan keadaan (Zhaenudin, 2014).
Ketatnya persaingan dalam dunia bisnis, perkembangan informasi dan teknologi yang semakin maju dan pesat, perubahan perilaku konsumen di era yang modern ini, dan pencapaian tujuan secara efektif dan efisien menunjukkan pentingnya kekuatan brand dalam sebuah bisnis peluang usaha. Brand sebagai identitas perusahaan, pembeda dengan perusahaan lain, dan representasi dari kualitas, strategi, dan positioning (Putri et al., 2018).
Salah satu perusahaan e-commerce yang dikenal masyarakat Indonesia dan melakukan rebranding yaitu Tokobagus.com yang mengganti brand menjadi OLX.co.id. Rebranding ini merupakan strategi pemasaran perusahaan yang dilakukan dengan membuat sebuah nama baru dan logo baru yang diciptakan dengan tujuan pengembangan dan memberikan sebuah pembaharuan dalam benak konsumen, investor, dan pesaing (Zubaedah, 2018).
b. Logo Sezaman
Logo adalah sebuah representasi yang akan diingat oleh penggunanya. Logo adalah identitas di mana ketika identitas tersebut diubah, tentu saja akan memengaruhi citra dan pengetahuan penggunanya (Pratomo, 2012). Logo adalah versi ringkas dan pendek dari apa yang ingin disampaikan oleh sebuah perusahaan. Selain itu, logo juga merupakan sebuah cara yang paling sederhana untuk menyampaikan nilai perusahaan dan membuat sebuah kesan pada para konsumen (Habib, 2019).
Logo menjadi sebuah pengakuan , kebanggan, inspirasi kepercayaan, kehormatan, kesuksesan, loyalitas dan keunggulan yang tersirat ke dalam suatu bentuk atau gambar. Logo juga merupakan bagian yang penting untuk menunjukkan keberadaan suatu pembeda produk dengan produk lainnya. Logo diyakini dapat memberikan efek pengakuan tertentu kepada setiap orang yang melihat atau memakai (Febriansyah, 2013).
Sebagai sebuah perusahaan yang berkembang, pada umumnya kita menemukan bahwa logo yang awalnya diciptakan untuk mencerminkan layanan dan nilai-nilai dari sebuah brand menjadi usang.
Di saat seperti inilah, keputusan untuk melakukan redesain logo perusahaan menjadi sebuah langkah bijak untuk menyegarkan identitas perusahaan agar secara akurat dapat “berkomunikasi” dengan siapa dan apa yang mereka wakili sekarang, daripada siapa dan apa yang mereka wakili beberapa tahun yang lalu (Ovan, 2018). Logo baru membawa perubahan positif, semangat, serta semakin bertumbuh dan berkembang. Serta salah satu langkah strategis untuk memperkuat kinerja bisnis (Datu, 2019).
Sebut saja Gojek. Pada 22 Juli 2019 lalu, GOJEK resmi telah mengubah identitas visual mereka yang selama ini dikenal lewat logo “pengemudi motor bersinyal”, menjadi sebuah cincin lingkaran bundar yang disebut Solv. Tidak hanya ikon, GOJEK juga mengadopsi penggunaan font Maison Neue pada logo barunya dan hampir seluruh penamaan layanan mereka.upaya rebranding GOJEK dilakukan untuk merefleksikan perjalanan mereka dari yang awalnya berupa layanan transportasi roda dua, hingga menjadi pengelola super-app Indonesi (Maulana, 2019).
Salah satu alasan pemilihan logo baru perusahaannya adalah fleksibilitas. Dengan simbol baru tersebut, logo GOJEK kini bisa dengan mudah dikenali meski dipasang dalam berbagai ukuran, baik besar maupun kecil (Maulana, 2019).
Jauh sebelum GOJEK, salah satu perusahaan aplikasi media sosial berbasis foto dan video pendek, Instagram juga mengganti logonya. Logo lama yang berupa kamera "jadul" dan dihiasi warna beberapa strip warna pelangi pada bagian pinggirnya dianggap tidak layak lagi digunakan (Pratomo, 2012). Sebagai gantinya, perusahaan yang diakuisisi Facebook pada 2012 lalu ini mengganti logo dengan kombinasi warna gradasi (Pratomo, 2012).
Langkah kedua perusahaan tersebut untuk melakukan rebranding dan mengganti logonya tentu tidak datang begitu saja dan telah direncanakan dengan matang sebelumnya. Pergantian logo perusahaan harus melewati berbagai tahapan seperti riset pasar, penyusunan strategi branding dan pemasaran, pencarian branding agency untuk mendesain logo hingga tahapan eksekusi di lapangan (Prasetyo, 2018).
Mengganti logo perusahaan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Proses perancangan desain logo perusahaan didahului dengan penelitian yang memakan banyak waktu dan tenaga. Belum lagi jika perusahaan harus mencari branding agency terbaik yang digunakan untuk membantu merancang logo. Setelah logo baru perusahaan selesai, tahapan selanjutnya yaitu mengaplikasikan logo baru itu ke berbagai media seperti stationery kit, seragam karyawan, alat transportasi dan media periklanan lainnya (Prasetyo, 2018). Namun, ada satu cara yang solutif untuk menghematkan anggaran yaitu mengadakan sayembara desain logo berhadiah.
Penulis berpendapat bahwa logo baru koperasi sekarang harus dirubah, diganti atau diperbaiki. Mengapa ? Penulis beralasan logo tersebut kuno atau tidak kekinian, kurang simple, tidak menarik dan sangat tidak flexible untuk diimplementasikan secara digital.. Seharusnya logo baru terlihat lebih modern dan digital friendly. Ini sebagai salah satu strategi dan upaya kami beradaptasi dengan segmen young generations, sekaligus sebagai modal untuk membidik pangsa pasar mereka.
c. Diversifikasi Produk dan Usaha
Bukan menjadi perdebatan lagi kalau sebuah brand harus selalu berubah seiring perubahan pasar. Hal ini dilakukan agar brand tersebut akan terus segar dan tetap mendapat perhatian target konsumennya. Berbagai upaya melakukan perubahan – diversifikasi produk misalnya, juga dinilai efektif untuk menyelamatkan umur dari sebuah brand. Jika kita membuka lagi buku manajemen pemasaran, diversifikasi biasanya dilakukan untuk memperpanjang daur hidup sebuah produk atau yang dikenal dengan sebutan product life cycle sebelum mengalami penurunan (Al Hafiz, 2017).
Dari sudut pandang hukum ekonomi, ketika ketersediaan barang di pasar (supply) melebihi permintaan pembeli (demand) maka harga akan menjadi turun. Sementara itu, bila banyak produsen memproduksi barang yang sama menyebabkan ketersediaan barang menjadi tinggi, otomatis harga akan menjadi turun. Dari sinilah, diperlukan pengembangan desain produk baru atau target pasar yang baru. Diversifikasi produk dapat dilakukan dengan membuat produk yang baru atau memperbarui produk sejenis yang sudah kita jual. Pada produk sejenis, penerapan diversifikasi bisa dilakukan dari segi ukuran, tipe, warna, mode, sampai peruntukannya (Syahid, 2018).
Diversifikasi merupakan situasi membuat atau menjual jenis yang sangat banyak dan bermacam-macam sesuai dengan hasil atau jasa keanekaragaman yang berlainan dalam suatu jenis atau jasa tertentu (Moekijat, 2007). Diversifikasi produk merupakan salah satu cara untuk meningkatkan volume penjualan yang dapat dilakukan oleh perusahaan terutama jika perusahaan tersebut telah berada dalam tahap kedewasaan (Indah et al., 2017).
Strategi diversifikasi adalah sebuah strategi yang paling kompleks implikasinya karena bagi perusahaan yang melakukan diversifikasi akan menjadi pengalaman baru, baik dari segi pasarnya, maupun dari segi produknya. Setiap melakukan keputusan diversifikasi akan mengalami resiko bisnis yang tinggi. Perusahaan harus melakukan riset terlebih dahulu. Dengan melihat dari segi distribusi apakah sudah berjalan dengan baik atau tidak. Karena distribusi memegang peranan penting dalam diversifikasi. Faktor penting yang lain adalah bahwa setiap produk diversifikasi memang diminati konsumen dimana perusahaan harus memperhatikan produknya dari kualitasnya. Sebelum produk diversifikasi masuk ke dalam pasar harus dilakukan test market terlebih dahulu, sehingga mengerti bahwa produk tersebut diterima baik atau tidak (Hermawan, 2015).
Demikian juga dengan bidang usaha koperasi yang perlu mencakup ekonomi kreatif sehingga banyak anak muda terdorong mencoba koperasi sebagai salah satu bentuk lembaga usaha untuk ekspresi kreativitasnya. Di samping itu, sudah saatnya mengintegrasikan konsep rantai pasok (supply chain) ke dalam gerakan koperasi agar koperasi dapat lebih kompetitif dalam usaha. Beberapa kajian akademik di universitas sudah mempelajari hal ini dan rasanya perlu diteruskan lebih mendalam sehingga memperoleh model yang sesuai dengan lingkungan di Indonesia (Kuntadi, 2018).
Penulis justru tertarik pada peer to peer (P2P) untuk dikembangkan sebagai bagian dari diversifikasi produk. Koperasi sendiri bisa menggunakan akad perwakilan dengan upah (wakalah bil ujrah) dalam transaksi antara mereka dengan pemberi pinjaman. Dengan begitu, koperasi dianggap menerima tanggungan atau perwakilan dari sang peminjam, sehingga mereka berhak mendapatkan keuntungan (ujrah) (Pratama, 2018).
Dilansir dari sebuah media online CNBC Indonesia bahwa milenial ternyata memiliki ketertarikan besar pada investasi di Fintech Peer to Peer (P2P) Lending. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 30 April 2019, berdasarkan karakter pengguna fintech lending, mayoritas pemberi pinjaman atau lender yakni dari kalangan milenial di rentang usia 19-34 tahun dengan porsi 69,53 persen. Selebihnya merupakan lender dari kalangan usia 35-54 tahun sebesar 27 persen dan golongan usia lainnya. Hal ini disebabkan investasinya cukup terjangkau, dimulai dari Rp 100.000,00. Lender cocok diisi oleh para milenial yang ingin memulai berinvestasi. Fintech Lending dapat diakses hanya dengan gadget yang terhubung dengan internet (Jatmiko, 2019).
Dengan bermodalkan internet dengan gawai dapat menjadi pertemuan online antara pemberi pinjaman atau investor dengan peminjam atau sebagai suatu perusahaan yang mempertemukan para pemberi pinjaman dengan para pencari pinjaman dapat menjadi suatu skema untuk mengurangi gap atau jarak kebutuhan pendanaan bagi para pengusaha UMKM (Naufal, 2018).
Dengan adanya skema peer to peer (P2P) lending ini akan membuat akses pinjaman dana semakin mudah untuk terus meningkatkan inklusi keuangan yang ada di Indonesia. Tidak adanya batasan negara untuk mengakses layanan ini akan semakin banyaknya juga pemberi dana, hal tesebut apabila Indonesia memiliki iklim investasi yang baik (Naufal, 2018).
d. Media Sosial
Citra atau image adalah seperangkat nilai yang melekat pada koperasi. Ia mencerminkan seperti apa sebenarnya koperasi itu bergerak. Apapun yang dilakukan koperasi akan ada daam benak masyarakat dan pada gilirannya akan menumbuhkan penilaian terhadap koperasi itu sendiri. Pada persaingan industri perdangan yang sangat ketat sebarapun hebatnya sebuah koperasi kalau tidak memperhatikan citra, maka lambat laun koperasi itu akan ditinggalkan. Selain kemampuan manajerial yang handal, kirang pencintraan yang positif dalam masyarakat sangat memegang peranan penting terhadap keberlangsungan koperasi (Fachruddin, 2016).
Media sosial dapat membangun image secara cepat dari image yang kurang populer menjadi populer, memulihkan citra negatif dan memperluas penyebaran konten. Fakta menunjukkan dahsyatnya dampak menggunakan media sosial atas sebuah brand, yakni akan meningkatkan jumlah pengunjung, publik menjadi bagian dari kompetisi, menciptakan keingintahuan melalui konten media sosial, dan pengguna internet di dunia menghabiskan waktu lebih banyak di media sosial untuk bertukar informasi (Hardum, 2019).
Media sosial merupakan “mainan” baru nan menyenangkan bagi kaum milenial. Di tengah kecanggihan teknologi dari arus globalisasi ini, kaum milenial justru memanfaatkan hal tersebut sebagai sarana memenuhi kebebasan, kepuasan, serta kesenangan semata. Mengekspresikan diri menjadi alasan mengapa kaum milenial menjunjung tinggi media sosial. Hal tersebut bukanlah sebuah dampak negatif yang harus diperdebatkan. Toh, setiap orang tentu memiliki hak untuk mendapatkan kesenangannya sendiri. Media sosial memang diperuntukkan kaum milenial agar bisa menjadi pribadi yang lebih terbuka. Meski demikian, media sosial tak hanya dijadikan mereka sebagai sebuah mainan belaka. Justru bak peribahasa sambil menyelam, minum air, di samping mereka mengekspresikan dirinya, mereka pun jadi mengetahui hal-hal yang berbau informasi dari media sosial itu sendiri (Maulana, 2018).
Media sosial kini menjadi platform paling populer dan efektif untuk melakukan kampanye kepada publik. Ini juga menjadi momentum gerakan koperasi menjadikan media sosial untuk membangun image baru (rebranding) koperasi di masyarakat terutama generasi muda (Hardum, 2019).
Fakta menunjukkan dahsyatnya dampak menggunakan media sosial atas sebuah brand, yakni akan meningkatkan jumlah pengunjung, publik menjadi bagian dari kompetisi, menciptakan keingintahuan melalui konten media sosial, dan pengguna internet di dunia menghabiskan waktu lebih banyak di media sosial untuk bertukar informasi (Hardum, 2019).
Media sosial adalah instrumen yang lumayan efektif digunakan khususnya di era sekarang ini untuk berbagi informasi dan pesan pemasaran yang relevan dengan bidang atau jenis bisnis koperasi. Media sosial juga menjadi sarana interaksi bisnis koperasi dengan pelanggan dan atau influencer. Dengan aktivitas dan pengemasan akun media sosial yang menarik, ini akan meningkatkan traffic pelanggan dan tentunya brand image bisnis koperasi dengan calon pelanggan atau pelanggan reguler Anda (Hidayat, 2018).
Biaya adalah alasan yang paling dipertimbangkan untuk menentukan upaya membangun brand image melalui media sosial. Mengapa? Karena akses terhadap media sosial sepenuhnya dilakukan oleh para konsumen melalui gawainya masing-masing. Dengan demikian dalam hal ini koperasi tidak mengeluarkan biaya sama sekali, karena konsumennya sendiri yang mengeluarkan uang untuk membeli gawai. Setidaknya poin ini sudah menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi koperasi (Natawijaya, 2018).
Sudah menjadi rahasia umum melakukan promosi di media cetak, TV dan billboard membutuhkan biaya yang sangat besar. Jika proyeksi biaya yang diperlukan untuk memasang iklan di media cetak nasional dengan ukuran seperempat halaman diperlukan biaya sekitar 30 juta rupiah, dapat dibandingkan dengan penggunaan media sosial yang untuk registrasi akunnya pun gratis. Tinggal koperasi mendaftarkan akun dan secara kreatif mengelolanya (Natawijaya, 2018).
e. Manajemen dan Tata Kelola
Citra badan hukum koperasi kalah dengan perseroan terbatas (PT). Hal tersebut karena sistem manajemen koperasi yang tidak terkelola dengan baik. Manajemen koperasi memang masih kalah, karena manajemen tata kelola dengan PT. Kalau PT karena sudah kelembagaan sudah sangat berorientasi terhadap pasar, dari sisi tata kelola, aturan main, sudah cukup detail. Namun untuk koperasi yang ada di Indonesia, kebanyakan pengelolaan dari tata kelola kurang. Hal tersebut, karena sistem pengawasannya. Misalkan tempat penyimpanan uang badan hukumnya bukan koperasi, seperti Bank atau non-Bank (Putri, 2016).
Beda dengan PT, mereka diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pengawasannya juga sangat ketat dan menyentuh institusi secara langsung. Mereka harus membuat laporan secara berkala, telat ada dendanya dan lain-lain. Sehingga kita setiap tahun selalu mendengar ada koperasi yang uangnya dilarikan oleh pengurus, ada yang bangkrut padahal potensinya besar (Putri, 2016).
Salah satu cara terbaik dalam melakukan pengawasan adalah pengawasan berbasis teknologi informasi (TI) sehingga dapat dilaksanakan dengan mudah, transparan dan akuntabel. Budaya dalam keterbukaan informasi dan komunikasi akan memberikan kemudahan bagi pengawas internal maupun eksternal untuk melakukan pengendalian dan pengawasan secara lebih efektif (Hardum, 2018).
Selain itu, keterbukaan dalam mengelola organisasi koperasi sangat diperlukan, selain dibutuhkan oleh manajemen juga akan mendorong terjadinya komunikasi yang terbuka antar seluruh anggota organisasi. Informasi yang efektif dapat terwujud melalui sistem pelaporan yang baik. Masing-masing bagian dapat melaporkan hasil kinerjanya secara periodik. Proses pelaporan ini dapat dilakukan secara manual maupun computerize yang diproses melalui sistem informasi yang dimilikinya (Himawan, 2016).
Dalam koperasi, masalah pengelolaan keuangan menjadi sangat penting, karena modal yang didapat tidak berasal dari satu orang melainkan dari semua anggota. Untuk menghindari adanya kesalahan pengelolaan yang sangat fatal, maka ada baiknya jika sebuah koperasi memiliki software akuntansi yang bisa digunakan kapan saja secara mudah, cepat dan efisien. Software akuntansi dapat membantu koperasi untuk menyediakan laporan keuangan secara realtime dan instant. Metode grafik sebagai salah satu bentuk penyajian laporan akuntansi juga akan mempermudah para anggota untuk melihat naik atau turunnya posisi keuangan setiap saat dari usaha koperasi yang mereka jalankan (Utami, 2018).
Di era milenial ini koperasi amat sangat perlu melakukan strategi revolusi perubahan yang sistematis. Modernisasi organisasi dan bisnis koperasi harus dilakukan. Pemanfaatan sistem aplikasi online dalam tata kelola koperasi menjadi keharusan. Bahkan koperasi harus masuk pada pemenuhan kebutuhan kelompok umur milenial (anak zaman now) yang diisi oleh generasi yang lahir di era tahun 90-an. Mereka kelompok masyarakat yang sangat melek teknologi dalam genggaman. Mereka mempunyai orientasi pemenuhan kebutuhan dengan cara online. Bahkan mereka mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan kelompok masyakat lainya, khususnya dalam pilihan kerja, cara memenuhi kebutuhan dan mampu menangkap peluang bisnis dengan cepat. Inilah tantangan besar koperasi sekarang kedepan untuk melakukan perubahan dengan cepat, sebab insan koperasi seakan belum siap mengantisipasi setiap perubahan model bisnis yang sangat cepat dan kompetitif (Sudjatmoko, 2018).
Rebranding koperasi tidak hanya dilakukan dengan merubah image atau menggati nama, tetapi juga dibarengi dengan perubahan dan manajemen dan tata kelola (Sofia, 2019). Sekali lagi koperasi harus berubah ke arah manajemen yang modern. Perubahan modernisasi manajemen koperasi didasarkan tuntutan kebutuhab bisnis saat ini dan perwujudan pada prinsip serta nilai koperasi yang tidak akan hilang sebagai jatidiri koperasinya (Sudjatmoko, 2018).
f. Pembayaran Digital
Menurut penulis, salah satu inovasi yang perlu dilakukan adalah dalam setiap transaksi penjualan barang ataupun produk UKM yang dikelola oleh koperasi adalah menggunakan teknologi pembayaran digital (digital payment). Pembayaran digital adalah jenis pembayaran yang menggunakan media elektronik seperti sms, internet banking, mobile banking, dompet elektronik, dan sebagainya. Sistem pembayaran digital seperti di atas kian hari kian menanjak popularitasnya dan semakin berkembang pesat. Pembayaran digital memungkinkan seseorang untuk membayar cicilan rumah, tagihan kartu kredit, tagihan air, listrik dsb secara otomatis (Nugraha, 2018).
Generasi milenial mengganggap kehidupan sosial suatu aspek yang sangat penting, sehingga mereka memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai sarana untuk menunjukan eksistensi diri. Karakteristik yang sangat mudah ditemui pada generasi milenial yaitu pengguna internet yang sangat aktif, suka dengan yang serba cepat dan instan,kerja cerdas dan cepat, multitasking, kehidupan yang dinamis, dan kritis (Agustiyanti, 2019).
Melihat perkembangan dalam gaya hidup milenial, sistem pembayaran digital dinilai cukup cocok dengan gaya hidup mereka, yang serba cepat dan butuh kenyamanan. Revolusi pembayaran digital sudah terlihat di berbagai negara, termasuk Asia, yang diawali di China dan India. Indonesia memiliki potensi besar sebagai negara kunci di Asia, yang mampu mengakselerasi pembayaran digital non-tunai dan non-kartu (Wibowo, 2018).
Kaum milenial terkenal dengan anti-ribet. Mereka lebih suka membawa uang seperlunya saja, cukup buat makan, nonton dan parkir. Sehingga bisa dikatakan dompet mereka tipis. Walau begitu, bukan berarti bahwa pengeluaran mereka tidak besar. Sebenarnya milenial cukup konsumtif menggunakan uangnya. Bagi milenial, solusi untuk tidak terlampau konsumtif adalah dengan gaya hidup cashless society. Pasalnya, mereka mengaku lebih boros jika membawa uang tunai dalam jumlah besar. Tidak hanya itu, dompet yang tebal juga dinilai tidak praktis karena bentuk fisiknya yang terlalu memakan tempat di tas atau di kantong celana (Hati, 2019).
Salah satu alasan yang membuat sistem pembayaran digital banyak menarik perhatian kaum milenial adalah karena kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkannya. Pengguna tidak lagi harus repot membawa uang ke mana-mana atau singgah ke ATM untuk melakukan tarik tuna. Mereka bahkan tidak harus hadir ke hadapan penerima pembayaran. Dengan akses pembayaran digital ini, semua orang bisa melakukan pembayaran kapan saja dan di mana saja (Safitri, 2019).
Perusahaan riset Alvara Research baru-baru ini merilis data yang menyebutkan bahwa generasi milenial lebih menyukai layanan digital e-commerce buatan Indonesia. Perkembangan ekonomi digital di Indonesia paling besar ditopang oleh generasi milenial. Karena 98,2 persen generasi ini merupakan digital natives. Rata-rata intensitas penggunaan smartphone hingga 6 jam per hari untuk chatting, sosmed, hingga pembelian layanan jasa dan barang secara online. Sementara, aplikasi pembayaran digital yang paling diminati oleh generasi milenial adalah Go-Pay, diikuti OVO, Dana, Paytren, dan LinkAja (Nisaputra, 2019).
Dengan infrastruktur telekomunikasi yang semakin membaik dan harapan atas rampungnya proyek Palapa Ring maka tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak semakin efisien dan tidak memiliki angka inklusi finansial tinggi. Booming-nya sistem pembayaran digital di Indonesia karena negara ini sudah memiliki modal yang solid seperti China dan India. Dengan jumlah milenial yang mencapai lebih dari 90 juta atau 34,45% dari jumlah penduduk dan jumlah pengguna ponsel pintar yang mencapai lebih dari 100 juta, peningkatan tren pembayaran digital merupakan sebuah keniscayaan (Marsay, 2018).
g. Waralaba atau Franchise
Waralaba memungkinkan seorang pemilik bisnis (bertindak sebagai pemberi waralaba atau franchisor), dapat membuka cabang baru dan area pelayanan (dan pemasaran) tanpa harus mengeluarkan biaya besar. Disisi lain ada juga orang-orang yang mendapat untung dengan membeli waralaba (penerima waralaba atau franchisee). Banyak orang-orang yang bekerja sebagai karyawan ingin memiliki bisnis, terlebih jika bisnis tersebut sudah jalan dan mampu menghasilkan keuntungan pasif. Oleh sebab itu waralaba adalah model bisnis yang win-win solution (Serfiyani et al., 2015).
Waralaba merupakan bentuk kerjasama bisnis berjangka panjang yang menjadi bagian dari pola kemitraan. Kerjasama ini tak hanya memiliki tujuan ekonomi, namun juga sosial seperti masalah pemerataan kesejahteraan dan keadilan dalam berusaha. Hal itu karena di dalam bisnis waralaba, akan terjadi penyatuan business plan, adanya transfer sumber daya finansial, keahlian atau teknologi, antara usaha besar, menengah dan kecil (Alamsyah, 2018).
Waralaba menjadi populer karena kemampuannya memberikan kesempatan bagi calon wirausaha baru yang tak punya pengalaman untuk menjalankan suatu usaha dengan tingkat keberhasilan tinggi. Oleh karena itu, waralaba diakui sebagai salah satu cara yang cukup efektif untuk mengembangkan kewirausahaan (Iwantono, 2002).
Lantas apa hubungan franchise atau waralaba dengan generasi milenial ? Tak sedikit generasi muda yang aktif dan meraup omset besar dalam bisnis waralaba. Bisnis waralaba atau franchise dinilai lebih cocok bagi para generasi muda. Skema waralaba dengan standarisasi dan efisiensi dari segi ekonomi dinilai lebih pas ketimbang merintis bisnis sendiri dari nol yang butuh energi ekstra (Sari, 2018).
Franchise makanan dan minuman nyaris tak ada matinya. Franchise ini adalah waralaba populer atau jadi primadona. Wajar, karena setiap orang butuh makan dan minum tiap hari. Itulah sebabnya bisnis ini digadang-gadang cepat mendatangkan laba. Contohnya, franchise es krim BC’s Cone yang dikembangkan empat remaja. Sejak berdiri 7 Maret 2015, bisnis ini telah menghasilkan ratusan juta dalam kurun waktu kurang dari setahun (Sari, 2018).
Saat ini belum banyak koperasi mengembangkan bisnis waralaba padahal potensi untuk menjadi bisnis yang menggurita layak dilakukan dengan menggunakan sistem tersebut. Misal sekarang tren bisnis franchise, kenapa koperasi jarang menjadi franchisor, lebih banyak koperasi menjadi franchisee (Walfajri, 2017).
h. Digitilasasi
Memasuki era digital, semuanya telah berubah. Tidak terkecuali dalam bidang ekonomi. Hari ini kita menjumpai bahwa semua bidang kehidupan khususnya, bidang ekonomi digerakkan oleh teknologi dan informasi. Hal ini yang menandainya dimulainya era revolusi industri 4.0. Salah satu konsekuensi dari revolusi industri 4.0 tersebut adalah lahirnya proses digitalisasi dalam segala bidang. Pun dalam bidang ekonomi. Digitalisasi ekonomi kemudian menjadi salah satu keniscayaan di era revolusi 4.0 (Rosyadi, 2018).
Fakta itulah yang menjadikan paradigma tentang ekonomi dan marketing juga berubah. Produksi, distribusi, hingga pemasaran harus mengikuti gerak digitaliasi ekonomi dunia yang terus berkembang. Tentu perubahan membawa sesuatu baru yang menguntung bagi pelaku ekonomi. Hari ini faktor ekonomi semua bergerak menuju digitaliasi ekonomi dengan menekankan kekuatan teknologi dan informasi. Jangkauan luas dan kecematan yang signifikan menjadi keunggulan digitalisasi ekonomi tersebut (Rosyadi, 2018).
Perkembangan ekonomi digital menjadi hal yang mutlak untuk terus menghidupkan sektor koperasi. Sehingga, koperasi bisa terus berkembang sesuai dengan peradaban ekonomi di masa depan. Jika tidak segera bebenah dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar, koperasi akan sulit bersaing secara maksimal. Apalagi koperasi merupakan sistem ekonomi terbaik di Indonesia. Koperasi unggul karena mengedepankan aspek gotong royong dalam setiap proses ekonominya. Oleh karenanya harus terus dihidupkan dan dikembangkan (Istiqomah, 2018).
Koperasi menjadi salah satu aspek perekonomian di Indonesia yang harus dilakukan revitalisasi karena sangat penting bagi hajat hidup masyarakat di Indonesia. Untuk menggairahkan dan mendongkrak koperasi yang belum berjalan maksimal hingga saat ini, maka di era serba digital saat ini, koperasi diharapkan dapat turut mengikuti perkembangan untuk semakin berkembang. Cara yang dapat dilakukan yaitu membuat jaringan networking koperasi modern dengan menerapkan sistem digitalisasi. Tujuannya agar semua dapat dikelola dengan ponsel pintar untuk mengembangkan jaringan e-commerce (Sofyanti, 2017).
Digitalisasi Koperasi merupakan salah satu upaya untuk mengejar ketertinggalan koperasi dalam aspek implementasi teknologi Informasi, baik itu sistem online, transaksi non tunai, dan semua aktivitas yang memanfaatkan sistem digital, termasuk finansialtTeknologi. Dengan sistem ini, kemudahan yang ditawarkan oleh Koperasi yang menggunakan sistem Digitalisasi adalah untuk mempermudah transaksi Anggota Koperasi, dan yang paling penting dengan menggunakan Sistem ini proses Perkoperasian lebih transparan (Lasale, 2019).
Betul bahwa era digitalisasi akan memaksa setiap organisasi untuk berbenah dalam mempersiapkan strategi yang tepat. Jika tidak maka akan tersingkir. Tidak dapat dihindarkan bahwa pengembangan kapabilitas SDM agar “melek” IT, pengembangan managemen dan IT di koperasi harus diprioritaskan melalui reformasi koperasi dalam upaya menghasilkan Sustainable Competitive Advantages. Hal inilah yang akan membuat koperasi terus unggul secara terus-menerus. Benar, perubahan merupakan suatu kepastian. Tetapi, organisasi yang mampu mengantisipasi perubahan lebih cepat, serta mampu melakukan adjustment kapabilitas, resource dan strategi dengan melakukan stretching terhadap perubahan tersebut akan menjadi pemenang setiap kompetisi (Ginting, 2017).
Knock Out oleh Double Tax
Selama ini banyak koperasi terpaksa harus "tiarap" akibat dikejar oknum pajak untuk pungutan pajak berganda. Hal itu bukan kasus baru yang "menyiksa" perkoperasian di Indonesia namun sayangnya hal itu belum menjadi perhatian khusus pemerintah. "Akibatnya koperasi jadi pelaku ekonomi bayangan bahkan marjinal lantaran di 'knock out' oleh 'double tax' (Baihaqi, 2015).
Aturan pajak berganda atau "double tax" yang dikenakan pada koperasi dinilai menjadi salah satu faktor yang menyebabkan semakin lemahnya koperasi Indonesia. "Double tax" mestinya menjadi salah satu peraturan yang dideregulasi oleh Pemerintah dalam Paket Kebijakan September I. "Kita tahu bahwa praktik pengenaan pajak berganda pada koperasi ini sudah berlangsung sejak era reformasi (Baihaqi, 2015).
Dalam aturan berbentuk Peraturan Pemerintah (PP), koperasi dikenakan pajak atas total Sisa Hasil Usaha (SHU) dan ketika pembagian SHU, anggota koperasi pun dikenakan pajak sebesar 10 persen. Di negara lain dan terutama anggota MEA justru membebaskan pajak. Pajak atas koperasi dan usaha kecil ini akan melemahkan daya saing di tengah perdagangan bebas ASEAN dan global. Negara lain seperti Filipina yang seluruh pendapatan koperasi berasal dari transaksi dengan anggotanya, tidak dikenakan pajak. Selain itu, koperasi Singapura malah memajaki dirinya sendiri dengan menyetor bagian dari surplus koperasi untuk biayai kegiatan pendidikan pelatihan, riset dan pengembangan koperasi lainnya (Perdana, 2016).
Karena SHU memang kurang layak dikenakan pajak. Aneh bagi koperasi jika dikenakan pajak, karena saat transaksi dengan sesama anggota, sebetulnya tidak terjadi penambahan penghasilan. Sebab dana yang dimiliki koperasi adalah milik anggota atau pengurus yang dijadikan modal. Ketika dana itu dimanfaatkan oleh anggota lain, sebenarnya tidak terjadi peningkatan nilai tambah. Akan tetapi justru berkurang, setelah dilakukan penilaian pendapatan dari seluruh aktivitas pada akhir tahun. Ini terjadi, karena ada kewajiban bagi manajemen untuk menyisihkan sebagian dana dari SHU tersebut untuk pendidikan anggota. Dengan alasan tersebut, koperasi dinilai tidak layak dikenakan pajak (Munthe, 2010).
Saat ada jasa simpanan dari anggota yang merupakan iuran wajib, maka koperasi kembali akan dikenakan pajak. Hal ini seharusnya tidak dilakukan karena dana simpanan yang masuk ke koperasi berbeda dengan dana deposito nasabah yang menambung di bank dan mendapatkan bunga deposito. Karena uang yang masuk ke koperasi melalui dana anggota digunakan untuk gotong royong, bagi anggotanya sendiri. Inilah (pajak) yang sekarang harus diubah karena Koperasi berbeda dengan PT (Sutrisno, 2019).
PPh final terhadap pendapatan merupakan peraturan utama yang perlu segera direvisi karena dianggap tidak adil. pengenaan pajak terhadap omzet belum tentu menjamin koperasi tersebut mendapatkan untung. pengenaan PPh final terhadap pendapatan usaha koperasi berlaku setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Gumelar, 2016).
Pasal 3 beleid tersebut menyebut tarif PPh final dikenakan sebesar 1 persen jika pendapatan usaha tidak melebihi angka Rp 4,8 miliar dalam setahun. Sistem ini dirasa mendiskreditkan pelaku koperasi yang diasumsikan pasti mengalami keuntungan dan usahanya akan baik-baik saja jika kena pajak di tingkat omzet. Ini memarjinalkan orang sehingga tidak bisa melakukan kegiatan ekonomi. Pajak seperti ini terlalu didramatisir (Gumelar, 2016).
Naungan Regulasi
Koperasi seyogyanya menjadi backbone (tulang punggung) dari pengusaha mikro (micro entterprise) yang jumlahnya mencapai puluhan juta pengusaha. Pasalnya UMKM khususnya usaha mikro, merupakan pengusaha yang rentan karena pembinaannya dilakukan secara individual. Mereka sangat rentan, kadang hasil jualannya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari sehingga modalnya habis, sehari buka besoknya libur. Ini yang harus diayomi dan diwadahi dalam bentuk koperasi, sehingga pembinaannya bisa dilakukan secara kelembagaan. Dari sisi regulasi, juga harus ada kebijakan yang mendorong perkembangan koperasi sebagai salah satu pelaku perekonomian Indonesia. Kuncinya adalah keberpihakan, bagaimana mendorong regulasi yang sektoral supaya tidak mengunci perkembangan koperasi di tanah air, misalnya insentif fiskal (Rahayu, 2019).
Draft RUU Perkoperasian dinilai belum seluruhnya mampu mengakomodasi substansi upaya reformasi total koperasi sebagai organisasi yang mengatur diri sendiri (self-regulate organization) dan organisasi basis orang (people-based organization) sebagai kunci keberhasilan koperasi. setelah UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan Mahkamah Konstitusi, maka seharusnya pembahasan RUU mengakomodir substansi mendasar mengenai koperasi sebagai organisasi mengatur diri sendiri (self-regulate organization) dan juga organisasi basis orang ( people-based organization), sebab dua hal ini kunci keberhasilan koperasi (Syafriadi, 2019).
Sebagai organisasi self regulate itu fungsi regulasi harusnya fokus untuk memberikan rekognisi atau pengakuan terhadap praktik terbaik koperasi di lapangan. Intervensi yang berlebihan yang dilegitimasi dengan UU selama ini telah membuat perkembangan koperasi kita jauh tertinggal dengan negara lain. Semestinya semangat reformasi total koperasi didukung parlemen dari sisi perancangan regulasi seperti soal pengaturan syarat jumlah pendiri koperasi dan syarat administrasi yang terlalu banyak. Harusnya kita mencontoh negara lain yang koperasinya maju yang hanya menyaratkan 3 orang saja cukup untuk mendirikan koperasi (Syafriadi, 2019).
Produk regulasi sebagai alat rekayasa sosial yang penting dalam membentuk paradigma di masyarakat juga tidak mengarah untuk membentuk paradigma koperasi yang baik. Indonesia telah meninggalkan terlalu lama sistem kerja koperasi untuk menangani masalah serius bangsa ini. Kita harus mengupayakan perubahan paradigma dan sekaligus melakukan reformasi regulasi yang menyangkut koperasi, termasuk UU Perkoperasian yang sedang dibahas di tingkat panitia kerja parlemen saat ini. Jangan lagi kita mendustai konstitusi, kecuali kita ingin memperpanjang sejarah kegagalan kita dalam membangun sistem demokrasi ekonomi (Sofia, 2019).
Kendati ada ketidaksempurnaan dan kelemahan yang masih melekat pada sementara koperasi, mungkin kelemahan itu yang harus kita perbaiki dan memacu deregulasi dan regulasi agar dalam pangsa impor dan ekspor di Tanah Air kita saat ini koperasi juga meraih peluang yang memadai dan semakin besar. Hal itu disebabkan ada kesan justru deregulasi yang terjadi selama ini dampaknya belum meng-sokoguru-kan koperasi tetap lebih memperkuat posisi ekonomi perusahaan swasta dalam peta bisnis nasional. Rasanya hal ini yang perlu kita renungkan secara seksama dalam semngat dialog bahwa deregulasi ataupun regulasi yang muncul di masa mendatang perlu lebih memberi peluang kepada koperasi supaya melakukan bisnis yang semakin besar dalam lingkup the greater is better bukan dalam lingkup the small is beautiful melulu (Mutis, 1992).
Beberapa Catatan Penutup
Saat beberapa start up secara kreatif beri solusi di sektor pertanian dengan iGrow, iPangan dan aneka platform lainnya, Koperasi mayoritas masih gunakan cara yang sama. Ya, cara era 80-an. Orang-orang tua mungkin akan beri khotbah pentingnya belanja di pasar. Namun, anak-anak muda kreatif itu membuat platform belanja pasar lewat ponselnya. Banyak platform start up lokal di bidang itu yang secara efektif membuat pasar tetap terdengar kumandange, gemuruhnya. Boleh jadi ramalan Ronggowarsito soal itu perlu dikoreksi. Di luar sana anak muda gemrudug (ramai) mencoba ini-itu. Lagi-lagi, koperasi absen. Seolah-olah hiruk-pikuk itu berada "di luar sana" dan bukannya "di dalam sini". Di sebuah diskusi grup Whatsapp, saya melempar argumen, boleh jadi karena ekosistem koperasi cenderung tertutup sehingga abai respons perubahan besar itu. Banyak koperasiwan di tanah air resah dengan bagaimana nasib koperasi saat ini dan mendatang. Ya, ditinggal anak muda (Djumena, 2019).
Di era e-commerce koperasi di Indonesia dapat mempunyai daya saing selama koperasi mampu merubah pola bisnisnya dari owning system (sistem kepemilikan) menjadi sharing system (sistem pembagian). Dengan menggunakan sharing system koperasi tidak harus berinvestasi yang tinggi dan menanggung biaya penyusutan yang besar. Kendala yang dihadapi koperasi untuk mengembangkan sharing system adalah keterbatasan sumber daya manusia (Suliyanto, 2018).
Kebanyakan koperasi dikelola oleh orang-orang tua dengan tingkat literasi teknologi komunikasi dan informasi yang rendah dan merangkap jabatan ditempat lain sehingga tidak fokus dalam mengembangkan usaha. Untuk mengembangkan koperasi di era milenial ini koperasi harus dipegang oleh generasi milenial yang memiliki literasi teknologi komunikasi dan informasi yang tinggi agar dapat menjalankan model bisnis sharing system. Jika koperasi tidak segera merubah model bisnisnya maka koperasi akan semakin tertinggal jauh dari badan usaha lainnya (Suliyanto, 2018).
Kiranya menarik untuk dicatat bahwa kelahiran koperasi Indonesia bukanlah suatu antitesis dari politik ekonomi yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda dan bukan pula suatu sintesis dari ideologi impor dengan tata kehidupan dan aturan sosial yang sudah mengakar di bumi Indonesia. Kelahiran koperasi Indonesia semata-mata konsekeunsi logis dari alam pikiran masyarakat, adat istiadat, dan sifat luhur tolong-menolong, ringan sama dijinjing berat sama dipikul (Abdullah, 2006).
Di dalam perjalanannya, semangat dan jiwa koperasi ini terdesak ke belakang karena gencarnya tekanan yang dilancarkan ideologi lain dan karena iming-iming kehidupan hedonis yang ditawarkan oleh perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Meskipun pada dirinya ilmu pengetahuan dan teknologi itu dapat dianggap bebas nilai, seperti dipercayai oleh beberapa ilmuwan, baik di Barat maupun di Timur, tetapi godaan hedonistis sangat merangsang bangsa-bangsa dan individu-individu yang baru menghirup udara kebebasan mengatur rumah tangga bangsa sendiri. Situasi lingkungan sosial seperti ini mengundang kita untuk berpikir dan bekerja terus menyalakan semangat berkoperasi sehingga kedudukan koperasi yang masih rudimenter dalam pertumbuhan kue nasional dapat mengembangkan perannya sesuai dengan yang diamanatkan oleh konstitusi (Abdullah, 2006).
Mohammad Hatta sebagai salah satu founding fathers negara Indonesia telah meletakkan dasar bagi sistem perekonomian Indonesia dengan menyatakan bahwa,"Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan". Bangun usaha yang dimaksud oleh beliau tidak lain adalah koperasi. Kemudian pemikiran ini pun dituangkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dengan harapan koperasi dapat berperan sebagai sokoguru perekonomian nasional (Harsoyo et al., 2006).
Akankah cita-cita Bung Hatta tentang koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional dapat terwujud di negeri ini. Ataukah ideologi koperasi akan lenyap ditelan zaman. Semoga Kisah sukses koperasi yang terjadi di negara-negara lain dapat menumbuhkan semangat berkoperasi secara benar di negeri ini (Harsoyo et al., 2006).
ARTIKEL INI DIIKUSERTAKAN DALAM LOMBA BLOG #lombaDISKOPUKMDIY2019
Daftar Pustaka
Anonim. 2015. Sahala Panggabean Lawan Stigma Negatif Koperasi. <http://majalahpeluang.com/sahala-panggabean-lawan-stigma-negatif-koperasi/>. Diakses tanggal 29 Juli 2019.
Agustiyanti, A. W. 2019. Uang Elektronik Di Era Generasi Milenial. <https://geotimes.co.id/opini/uang-elektronik-di-era-generasi-milenial/>. Diakses tanggal 29 Juli 2019.
Alamsyah, I. E. 2018. Waralaba Masih Jadi Cara Efektif Tingkatkan Rasio Pengusaha.<>. Diakses tanggal 22 Juli 2019.
Alfi, A. 2019. Raup Omzet Hampir Rp 6 T, KISEL Masuk 100 Besar Koperasi Dunia.<https://kronologi.id/2019/07/05/raup-omzet-hampir-rp-6-t-kisel-masuk-100-besar-koperasi-dunia/>. Diakses tanggal 20 Juli 2019.
Al Hafiz, M. P. 2017. Diversifikasi Produk Jadi Strategi Utama SHARP Tahun 2017. <http://marketeers.com/diversifikasi-produk-jadi-strategi-utama-sharp-tahun-2017/>. Diakses tanggal 15 Juli 2019.
Baihaqi, M. B. 2015. Aturan Pajak Berganda Dinilai Lemahkan Koperasi.<http://www.neraca.co.id/article/59168/aturan-pajak-berganda-dinilai-lemahkan-koperasi>. Diakses tanggal 24 Juli 2019.
Datu, Y. 2019. Ganti Logo dan Nama Perusahaan, Ini Alasan Bos Kumala Group. <http://news.rakyatku.com/read/158455/2019/07/22/ganti-logo-dan-nama-perusahaan-ini-alasan-bos-kumala-group>. Diakses tanggal 27 Juli 2019.
Djumena, E. 2019. Anak Muda, Koperasi dan The Abundance Era.<https://www.ukmindonesia.id/baca-artikel/113>. Diakses tanggal 21 Juli 2019.
Fachruddin, A. 2016. Manajemen Pertelevisian Modern. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Febriansyah. 2013. Pengaruh Perubahan Logo (Rebranding) Terhadap Citra Merek Pada PT Telkom tbk Di Bandar Lampung. JMA Vol. 18 No. 2 : 1-24.
Firmansyah. 2018. Menyuarakan Pentingnya Eksistensi Koperasi di Era Modern kepada Generaso Milenial. <https://bangfirman.com/2018/06/22/menyuarakan-pentingnya-eksistensi-koperasi-di-era-modern-kepada-generasi-milenial/>. Diakses tanggal 21 Juli 2019.
Ginting, E. 2017. Reformasi Koperasi dalam Upaya Menghadapi Tantangan Era Digitalisasi.<https://www.kompasiana.com/gintingesra/5936d62bb59373240b8231ac/reformasi-koperasi-dalam-upaya-menghadapi-tantangan-era-digitalisasi?page=all>. Diakses tanggal 21 Juli 2019.
Gumelar, G. 2016. Dinilai Memberatkan, Ditjen Pajak Diminta Hapus PPh Koperasi.<https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160223131101-78-112885/dinilai-memberatkan-ditjen-pajak-diminta-hapus-pph-koperasi>. Diakses tanggal 25 Juli 2019.
Habib, T. 2019. Logo Baru Profit Makin Laju, 7 Perusahaan Capai Pemasukan hingga Rp3,2 Kuadriliun. <https://akurat.co/id-700299-read-logo-baru-profit-makin-laju-7-perusahaan-capai-pemasukan-hingga-rp32-kuadriliun>. Diakses tanggal 27 Juli 2019.
Hardum, S. E. 2018. Perkuat Pengawasan Koperasi dengan TI. <https://www.beritasatu.com/ekonomi/511545/perkuat-pengawasan-koperasi-dengan-ti>. Diakses tanggal 23 Juli 2019.
Harsoyo, R., P. A. Pubiyanto, Y. D. Purbacahyono, M. G. Suwarni, C. W. R. Astuti, Y. M. V Mudayen, dan I. Darmawan. 2006. Ideologi Koperasi Menatap Masa Depan. Pustaka Widyatama. Yogyakarta.
Harususilo, Y. E. 2018. IPB: Belasan Ribu Koperasi Dibubarkan, Ini Langkah Inovasinya. <https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/18/21124071/ipb-belasan-ribu-koperasi-dibubarkan-ini-langkah-inovasinya>. Diakses tanggal 29 Juli 2019.
Hati, R. M. 2019. Dampak Cashless Society Bagi Perilaku Milenial dan Cara Menghadapinya. <https://blog.mokapos.com/dampak-cashless-society-bagi-milenial>. Diakses tanggal 29 Juli 2019.
Hermawan, L. 2015. Dilema Diversifikasi Produk : Meningkatkan Pendapatan atau Menimbulkan Kanibalisme Produk ?. Jurnal Studi Manajemen, Vol. 9, No. 2 : 142-153.
Hidayata, K. S. 2018.4 Cara Membangun Brand Image Bisnis Agar Lebih Dikenal Publik.<Natawijaya, A. 2018. Tentang Membangun "Brand Image" di Media Sosial.
<https://www.kompasiana.com/andrynatawijaya/5ac62d44f133445b07291623/tentang-membangun-brand-image-di-media-sosial?page=all>. Diakses tanggal 28 Juli 2019.>. Diakses tanggal 27 Juli 2019.
Himawan, A. 2016. Pengawasan Koperasi Harus Mulai Libatkan Teknologi Informasi. <https://www.suara.com/bisnis/2016/09/08/153056/pengawasan-koperasi-harus-mulai-libatkan-teknologi-informasi>. Diakses tanggal 23 Juli 2019.
Idris, M. 2018. Koperasi Bukan Lagi Badan Usaha Kelas Bawah.<https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4194783/koperasi-bukan-lagi-badan-usaha-kelas-bawah>. Diakses tanggal 20 Juli 2019.
Indah, N. H., Suharyono, dan Sunarti. 2017. Pelaksanaan Diversifikasi Produk dalam Rangka Meningkatkan Volume Ekspor : Studi Kasus Perusahaan Batik Ayu di Kota Pekalongan. Jurnal Administrasi Bisnis Vol. 43 No.1 : 60-67.
Istiqomah, Z. 2018. Koperasi Didorong Manfaatkan Digitalisasi.<https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/fintech/18/07/21/pc72f6370-koperasi-didorong-manfaatkan-digitalisasi>. Diakses tanggal 21 Juli 2019.
Iwantono, S. 2002. Kiat sukses berwirausaha : Strategi Baru Mengelola Usaha Kecil dan Menengah. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Jatmiko, A. N. K. 2019. Pemberi Pinjaman Fintech Lending Didominasi Kreditur Milenial. <https://money.kompas.com/read/2019/06/26/114949626/pemberi-pinjaman-fintech-lending-didominasi-kreditur-milenial>. Diakses tanggal 27 Juli 2019.
Kuntadi, Y. A. 2018. Revitalisasi Total Gerakan Koperasi. <https://www.watyutink.com/opini/Revitalisasi-Total-Gerakan-Koperasi>. Diakses tanggal 29 Juli 2019.
Lasale, N. 2019. Digitalisasi Koperasi, Permudah Transaksi Anggota Koperasi.<https://lintasgorontalo.com/digitalisasi-koperasi-permudah-transaksi-anggota-koperasi/>. Diakses tanggal 21 Juli 2019.
Marsyaf, M. I. 2018. Milenial Bakal Jadi Pendorong Transformasi Digital Indonesia. <https://autotekno.sindonews.com/read/1308668/133/milenial-bakal-jadi-pendorong-transformasi-digital-indonesia-1527161300>. Diakses tanggal 29 Juli 2019.
Maulana, R. 2019. Alasan GOJEK Ganti Logo Perusahaan: Praktis dan Filosofis. <https://id.techinasia.com/alasan-gojek-ganti-logo>. Diakses tanggal 27 Juli 2019.
Muchtar, I. 2017. Koperasi.<http://majalahpeluang.com/koperasi/>. Diakses tanggal 20 Juli 2019.
Munthe, M. G. 2010. SHU Tak Layak Kena Pajak.<http://www.ikpi.or.id/content/shu-tak-layak-kena-pajak>. Diakses tanggal 25 Juli 2019.
Mutis, T. 1992. Pengembangan Koperasi : Kumpulan Karangan. Grasindo. Jakarta.
Natawijaya, A. 2018. Tentang Membangun "Brand Image" di Media Sosial. <https://www.kompasiana.com/andrynatawijaya/5ac62d44f133445b07291623/tentang-membangun-brand-image-di-media-sosial?page=all>. Diakses tanggal 28 Juli 2019.
Naufal, H. A. 2018. Skema Peer to Peer (P2P) Lending Menjadi Kebangkitan bagi Para UMKM. <https://www.kompasiana.com/hanifafifnaufal3055/5bafa003677ffb2421781542/skema-peer-to-peer-p2p-lending-menjadi-peluang-kebangkitan-umkm?page=all>. Diakses tanggal 27 Juli 2019.
Nisaputra, R. 2019. Generasi Milenial Lebih Suka Layanan Digital Buatan Lokal. <http://infobanknews.com/generasi-milenial-lebih-suka-layanan-digital-buatan-lokal/>. Diakses tanggal 29 Juli 2019.
Nugraha, S. 2018. QR-Code Pembayaran Digital Koperasi "Zaman Now". <https://www.kompasiana.com/satriya1998/5b26844c16835f22c26b8622/qr-code-pembayaran-digital-koperasi-zaman-now?page=all>. Diakses tanggal 18 Juli 2019.
Perdana, H. A. 2016. Negara Lain Bebaskan Pajak Koperasi, Indonesia Kena Pajak Ganda.<https://www.merdeka.com/uang/negara-lain-bebaskan-pajak-koperasi-indonesia-kena-pajak-ganda.html>. Diakses tanggal 25 Juli 2019.
Perdana, R. 2019. Dinilai Kurang Kekinian, Koperasi Perlu Rebranding. <http://prfmnews.com/berita.php?detail=dinilai-kurang-kekinian-koperasi-perlu-rebranding>. Diakses tanggal 6 Juli 2019.
Pratama, A. H. 2018. Ammana, Startup P2P Lending yang Berusaha Menggali Potensi Besar Bisnis Koperasi Syariah. <https://id.techinasia.com/ammana-p2p-lending-syariah>. Diakses tanggal 27 Juli 2019.
Pratomo, Y. 2012. Mengapa Perusahaan Harus Mengubah Logo Mereka?. <https://www.kompasiana.com/pratomoyudha/5734259e6d7e616b0705b2a7/mengapa-perusahaan-harus-mengubah-logo-mereka>. Diakses tanggal 6 Juli 2019.
Putri, W. D. 2016. Pengamat : Tata Kelola Manajemen Koperasi Masih Kalah dengan PT. <https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/03/25/o4lgoq359-pengamat-tata-kelola-manajemen-koperasi-masih-kalah-dengan-pt>. Diakses tanggal 23 Juli 2019.
Putri, F. A., S. Sumartias, dan D. F. Sjoraida. 2018. Proses Rebranding Mal Grand Indonesia Oleh Departemen Marketing Communication PT Grand Indonesia. Profesi Humas Vol. 2 No. 2 : 102-118.
Putri, M. R. 2018. Generasi Milenial Masih Enggan Garap Bisnis Koperasi.
<https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/18/10/19/pgtla6383-generasi-milenial-masih-enggan-garap-bisnis-koperasi>. Diakses tanggal 20 Juli 2019.
Rahayu, N. 2019. Regulasi Perkoperasian Diminta Tidak Mengunci Perkembangan Koperasi.<https://www.wartaekonomi.co.id/read215422/regulasi-perkoperasian-diminta-tidak-mengunci-perkembangan-koperasi.html>. Diakses tanggal 23 Juli 2019.
Riandianti, K. 2018. Konsep Rebranding Koperasi di Era Milenial. <https://kriandianti.wordpress.com/2018/06/23/konsep-rebranding-koperasi-di-era-milenial/>. Diakses tanggal 27 Juli 2019.
Rosyadi, K. 2018. New Social Capital dan Revolusi Industri 4.0 : Studi terhadap Pembangunan Masyarakat UMKM Batik Tanjung BUMI Bangkalan Madura. Jurnal Pamator Vol. 11 No. 2 : 49-53.
Safitri, D. 2019. Inilah Manfaat Sistem Pembayaran Digital Bagi Kaum Milenial. <https://www.duniafintech.com/pembayaran-digital-kaum-milenial/>. Diakses tanggal 28 Juli 2019.
Sari, F. M. 2018. Bisnis Franchise yang Menggiurkan Generasi Milenial, Apa Saja?.<https://www.liputan6.com/bisnis/read/3591606/bisnis-franchise-yang-menggiurkan-generasi-milenial-apa-saja>. Diakses tanggal 22 Juli 2019.
Serfiyani, C. Y., R. S. D. Purnomo dan I. Hariyani. 2015. Franchise Top Secret. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Setiawan, A. 2018. Perspektif Koperasi di Generasi Milenial. <https://catatan-cooperator.blogspot.com/2018/09/perspektif-koperasi-di-generasi-milenial.html>. Diakses tanggal 29 Juli 2019.
Sholeh, A. 2019. Rebranding Koperasi Sasar Kalangan Muda, Perempuan dan Masyarakat.<https://www.megapolitanpos.com/read/detail/11024/rebranding-koperasi-sasar-kalangan-muda-perempuan-dan-masyarakat>. Diakses tanggal 6 Juli 2019.
Sofia, H. 2018. Masyarakat agar Ubah Cara Pandang terhadap Koperasi. <https://www.antaranews.com/berita/683486/masyarakat-agar-ubah-cara-pandang-terhadap-koperasi>. Diakses tanggal 29 Juli 2019.
Sofia, H. 2019. Kemenkop minta "rebranding" koperasi diikuti perbaikan manajemen. <https://www.antaranews.com/berita/933939/kemenkop-minta-rebranding-koperasi-diikuti-perbaikan-manajemen>. Diakses tanggal 6 Juli 2019.
Sofyanti, A. 2017. Sistem Digitalisasi untuk Koperasi, Seperti Apa?.<https://preneur.trubus.id/post/sistem-digitalisasi-untuk-koperasi-seperti-apa-5178>. Diakses tanggal 21 Juli 2019
Sudjatmoko, A. 2018. Koperasi di Zaman Milenial. <http://www.neraca.co.id/article/99602/koperasi-di-zaman-milenial>. Diakses tanggal 23 Juli 2019.
Sujarwo dan R. Listiawati. 2019. Pengembangan Bisnis Koperasi Kampus : Era Milenial dan Revolusi Industri Ke-4.0. <http://jurnal.pnj.ac.id/index.php/mak/article/download/1354/934>. Diakses tanggal 18 Juli 2019.
Suliyanto. 2018. Segera Ubah Pola Bisnis Koperasi.<https://www.watyutink.com/opini/Segera-Ubah-Pola-Bisnis-Koperasi>. Diakses tanggal 25 Juli 2019.
Suroto. 2018. Koperasi Sebagai Usaha Besar. <http://www.mekarsai.org/detailpost/koperasi-sebagai-usaha-besar>. Diakses tanggal 27 Juli 2019.
Sutrisno, D. 2019. Pemerintah Diminta Hapus Pajak Berganda di Koperasi. <https://republika.co.id/berita/o2zuxv382/pemerintah-diminta-hapus-pajak-berganda-di-koperasi>. Diakses tanggal 25 Juli 2019.
Syafriadi, A. 2019. RUU Perkoperasian Belum Mengakomodir Reformasi Total Koperasi.<https://akurat.co/ekonomi/id-672992-read-ruu-perkoperasian-belum-mengakomodir-reformasi-total-koperasi>. Diakses tanggal 24 Juli 2019.
Syahid. 2018. Pentingnya Melakukan Diversifikasi pada Produk Anda. <https://www.elshinta.com/news/154048/2018/08/27/pentingnya-melakukan-diversifikasi-pada-produk-anda>. Diakses tanggal 15 Juli 2019.
TODOR, R. D. 2014. The Importance of Branding and Rebranding for Strategic Marketing. Bulletin of the Transilvania University of Braşov. Series V. Economic Sciences Vol. 7 No. 2 : 59-64.
Utami, E. 2018. Lima Keuntungan Menggunakan Teknologi Digital Payment. <https://www.qerja.com/journal/view/11896-lima-keuntungan-menggunakan-teknologi-digital-payment-eu08/>. Diakses tanggal 29 Juli 2019.
Walfajri, M. 2017. Masa depan koperasi di generasi milenial. <https://keuangan.kontan.co.id/news/masa-depan-koperasi-di-generasi-milenial>. Diakses tanggal 18 Juli 2019.
Walfajri, M. 2017. KOPINDO diharapkan jadi pelopor generasi milenial.<https://keuangan.kontan.co.id/news/kopindo-diharapkan-jadi-pelopor-generasi-milenial>. Diakses tanggal 25 Juli 2019.
Zhaenudin, H. M. 2014. The Hidden Inspiration. PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.
Zubaedah, L. M. 2018. Corporate Rebranding Tokobagus.com menjadi olx.co.id. JTMI Vol. 1 No. 1 : 97-107.
0 komentar :
Posting Komentar